Banyak pengamat sepak bola Indonesia yang khawatir dengan berbondong-bondongnya pemain sepak bola Belanda berdarah separuh atau seperempat Indonesia, yang dengan bersemangat bersedia dinaturalisasi.
Karena mereka sudah resmi berpaspor Indonesia, yang prosesnya sah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku di negara kita, tentu para pemain tersebut berhak memperkuat Timnas Indonesia.
Begitulah, akhirnya para pemain asal Belanda (disebut sebagai "Timnas Pusat" oleh netizen) di Timnas Garuda, sangat terlihat dominasinya.Â
Sebetulnya istilah "Timnas Pusat" agak keliru, karena seolah-olah para pemain non naturalisasi menjadi anggota "Timnas Cabang".
Lagi pula, pemain asal Belanda yang hijrah ke Indonesia adalah mereka yang merasa kesempatannya untuk dipanggil oleh Timnas Belanda, relatif kecil. Mereka kalah bersaing dengan teman-temannya.
Meskipun demikian, kualitas mereka jelas di atas rata-rata pemain non naturalisasi. Soalnya, mereka banyak yang bermain di kompetisi kasta tertinggi di Belanda, Italia, dan negara Eropa lainnya.
Bersama dengan pemain "Timnas Belanda B" itulah, Indonesia diharapkan mampu tembus berlaga di Piala Dunia 2026.Â
Peluang untuk meraih mimpi main di Piala Dunia masih tetap terjaga setelah Timnas Indonesia berhasil menundukkan Arab Saudi dengan skor 2-0 di Gelora Bung Karno, Jakarta, Selasa (19/11/2024).
Dugaan bahwa Indonesia akan tampil dengan line up sepenuhnya menurunkan 11 pemain naturalisasi, alhamdulilah tidak terjadi.
Ternyata masih ada 2 pemain produk lokal yang dipercaya pelatih Shin Tae-yong (STY) sebagai starter di tengah kepungan 9 pemain naturalisasi.
Kebetulan keduanya adalah arek Suroboyo, yang awal kariernya sebagai pemain profesional di klub Persebaya Surabaya dalam usia remaja.
Beruntung pula ketika keduanya bermain di Persebaya punya pelatih yang sangat antusias memberi menit bermain yang lama bagi pemain remaja, yakni Aji Santoso.
Kedua arek dimaksud adalah Marselino Ferdinan yang dengan dingin mampu melakukan brace (mencetak dua gol) untuk kemenangan Indonesia atas Arab Saudi.
Marselino bukan arek Suroboyo asli karena berdarah Flores (Nusa Tenggara Timur) dan lahir di Jakarta. Tapi sentuhan sepak bolanya berawal di Kota Pahlawan itu.
Ketika Marselino masih duduk di bangku sekolah dasar, ia masuk Sekolah Sepak Bola (SSB) Real Madrid di Sidoarjo, kota yang berbatasan dengan Surabaya.
Teman Marselino yang juga bersinar di Timnas dan menjadi salah satu pemain belakang handal ialah Rizky Ridho, yang usianya 2 tahun lebih tua (Marselino 20 tahun dan Ridho 22 tahun).
Ridho belajar main bola di SSB Simo Putro Surabaya dan kemudian terpilih masuk tim junior Persebaya. Pada usia 18 tahun Ridho sudah menjadi pemain inti di Persebaya senior.
Karena usianya yang muda itulah, Marselino dan Ridho memperkuat Timnas Indonesia di berbagai kelompok umur, selain juga di tim senior.
Nah, kembali ke soal arus deras naturalisasi di tubuh Timnas Indonesia, terjawab sudah kekhawatiran pihak yang mempertanyakan bagaimana nasib pemain lokal yang dibina sejak usia dini oleh banyak SSB di berbagai penjuru tanah air?
Mereka khawatir para pemain yang telah dibina sejak usia dini akan kalah bersaing dengan pemain yang dibina di berbagai akademi sepakbola di Negeri Belanda.
Buktinya, Marselino dan Ridho berhasil menyisihkan sebagian pemain naturalisasi yang tidak terpilih sebagai starting eleven dalam laga yang dilakoni Timnas Indonesia.
Artinya, sepanjang pembinaan dilakukan sesuai dengan standar yang diterapkan di negara yang maju sepak bolanya, besar harapan akan lahir Marselino-Marselino dan Ridho-Ridho baru.
Sebaiknya kita tidak membedakan pemain naturalisasi dan pemain lokal, sepanjang semuanya bertujuan yang sama, yakni demi kejayaan sepak bola Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H