Banyak kemajuan yang diperlihatkan oleh jajaran Tentara Nasional Indonesia (TNI) dari level atas sampai bawah, terutama dari sisi profesionalisme dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Begitu pula dari sisi pendekatannya terhadap masyarakat. Sering anggota TNI yang dengan inisiatif sendiri membantu masyarakat yang terkena musibah atau bencana. Arogansi tentara relatif mulai jarang terjadi.
Makanya, ketika baru-baru ini terjadi tindakan main hakim sendiri oleh puluhan prajurit TNI yang menyerang warga di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, membuat kita terhenyak.
Seperti yang ditulis Harian Kompas (Kompas.id), puluhan prajurit Batalyon Artileri Medan-2/Kilap Sumagan (Yonarmed-2/KS) menyerang perkampungan warga Desa Selamat di dekat markasnya di Kecamatan Sibiru-Biru, Kabupaten Deli Serdang.
Jumlah prajurit yang terlibat berdasarkan keterangan Kepala Penerangan Kodam I/Bukit Barisan Kolonel Dody Yudha, adalah sebanyak 33 orang. Jadi, kalau warga jadi sangat ketakutan, tentu bisa dipahami.
Dari penjelasan warga yang didapat jurnalis Kompas, insiden diawali cekcok antara prajurit Yonarmed-2/KS dan warga yang melintas di jalan, pada Jumat (8/11/2024) sore.
Kemudian, pada malam harinya, para prajurit yang terlibat menyisir kampung, mendobrak rumah, dengan tujuan mencari seseorang yang bernama Andre Ginting.
Masalahnya, tanpa diketahui di mana keberadaan Andre Ginting, mereka justru menganiaya sejumlah warga, sehingga ada satu orang meninggal, serta ada yang luka berat dan ringan.
Tentu saja kita sangat menyayangkan aksi brutal yang membuat Raden Barus (60 tahun), seorang pemuka masyarakat di desa itu, meninggal dunia.
Menurut laporan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, Raden tewas dengan luka bacok di punggung, kepala retak, dan mata tertusuk benda tajam (bbc.com, 12/11/2024).
Raden Barus yang tidak terlibat langsung dengan konflik, menjadi korban sia-sia dari para prajurit yang usia mereka diperkirakan sepantaran anaknya.
Apa yang dikatakan Kepala Desa Selamat Bahrun pantas direnungkan dalam-dalam, ”Seharusnya rakyat merasa aman kalau ada markas tentara di desanya. Namun, warga malah ketakutan dengan keberadaan mereka.”
Tak bisa tidak, aksi main hakim sendiri itu perlu diproses sesuai dengan hukum yang berlaku. Jangan sampai ada pihak tertentu yang melakukan intervensi, sehingga penanganannya memenuhi rasa keadilan.
Adapun proses hukum tersebut tengah dilakukan oleh Kodam I/Bukit Barisan yang membawahkan Yonarmed-2/KS. Mereka diperiksa di Markas Polisi Militer Kodam I/Bukit Barisan.
Kodam I diminta bisa menindak tegas semua pihak yang terlibat dan tak melanggengkan impunitas terhadap anggotanya yang terbukti bersalah.
Masyarakat yang dibantu oleh media massa perlu mengawal proses hukum ini agar berjalan adil bagi korban. Makanya, kita berharap proses hukum dapat berjalan terbuka bagi masyarakat.
Pelaku tindakan main hakim sendiri mesti bertanggung jawab atas perilakunya. Prajurit TNI tidak kebal hukum, seperti telah diamanatkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2024 tentang TNI.
Pasal 66 Ayat (2) menyebutkan, ”Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang”.
Tentara Nasional Indonesia (TNI) sejatinya adalah tentara rakyat, dan memang sudah banyak program yang menggambarkan kemanunggalan TNI dan rakyat.
Ingat, "karena nila setitik bisa merusak susu sebelanga." Jangan pernah terjadi lagi anggota TNI yang menganiaya rakyat. Prajurit harus memegang teguh Sapta Marga dan Sumpah Prajuritnya.
Poin kedua Sumpah Prajurit TNI berbunyi, ”Tunduk kepada hukum dan memegang teguh disiplin keprajuritan.” Perilaku main hakim sendiri di atas menunjukkan ketidaktundukan pada hukum yang berlaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H