Raden Barus yang tidak terlibat langsung dengan konflik, menjadi korban sia-sia dari para prajurit yang usia mereka diperkirakan sepantaran anaknya.
Apa yang dikatakan Kepala Desa Selamat Bahrun pantas direnungkan dalam-dalam, ”Seharusnya rakyat merasa aman kalau ada markas tentara di desanya. Namun, warga malah ketakutan dengan keberadaan mereka.”
Tak bisa tidak, aksi main hakim sendiri itu perlu diproses sesuai dengan hukum yang berlaku. Jangan sampai ada pihak tertentu yang melakukan intervensi, sehingga penanganannya memenuhi rasa keadilan.
Adapun proses hukum tersebut tengah dilakukan oleh Kodam I/Bukit Barisan yang membawahkan Yonarmed-2/KS. Mereka diperiksa di Markas Polisi Militer Kodam I/Bukit Barisan.
Kodam I diminta bisa menindak tegas semua pihak yang terlibat dan tak melanggengkan impunitas terhadap anggotanya yang terbukti bersalah.
Masyarakat yang dibantu oleh media massa perlu mengawal proses hukum ini agar berjalan adil bagi korban. Makanya, kita berharap proses hukum dapat berjalan terbuka bagi masyarakat.
Pelaku tindakan main hakim sendiri mesti bertanggung jawab atas perilakunya. Prajurit TNI tidak kebal hukum, seperti telah diamanatkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2024 tentang TNI.
Pasal 66 Ayat (2) menyebutkan, ”Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang”.
Tentara Nasional Indonesia (TNI) sejatinya adalah tentara rakyat, dan memang sudah banyak program yang menggambarkan kemanunggalan TNI dan rakyat.
Ingat, "karena nila setitik bisa merusak susu sebelanga." Jangan pernah terjadi lagi anggota TNI yang menganiaya rakyat. Prajurit harus memegang teguh Sapta Marga dan Sumpah Prajuritnya.
Poin kedua Sumpah Prajurit TNI berbunyi, ”Tunduk kepada hukum dan memegang teguh disiplin keprajuritan.” Perilaku main hakim sendiri di atas menunjukkan ketidaktundukan pada hukum yang berlaku.