Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Jadi Bujang Lapuk dan Perawan Tua Tak Lagi Memalukan

9 November 2024   05:31 Diperbarui: 9 November 2024   08:40 902
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bujang lapuk di China, foto dok. BBC, dimuat tribunnews.com

Ada dua julukan yang dulu berkonotasi negatif, yang berkaitan dengan orang yang belum menikah di usianya yang sudah terbilang tidak muda lagi. Istilah dimaksud adalah "bujang lapuk" dan "perawan tua".

Bujang lapuk artinya lelaki yang masih membujang pada kondisi tubuhnya yang sudah terlihat menua. Secara harfiah, lapuk artinya keropos, dan biasanya disematkan pada benda-benda yang terbuat dari kayu.

Perawan tua kurang lebih artinya sama dengan bujang lapuk, tapi ini khusus untuk perempuan. Memang, istilah ini terlalu memojokkan kaum hawa. Seolah-olah wanita hanya dihargai dari keperawanannya. 

Kedua istilah di atas adalah julukan yang muncul pada era dahulu kala. Sekarang, mulai jarang istilah itu mengemuka di ruang publik, maupun di media massa atau media sosial.

Dulu, asumsi dasarnya adalah semua orang pasti menginginkan dapat jodoh dan menikah serta membangun rumah tangga.

Ketika itu,  pada usia 20-an, sudah banyak yang menikah. Bahkan, di desa-desa usia menikah rata-rata lebih rendah lagi, yakni di usia belasan setelah akil baligh.

Jadi, jika ada orang yang sudah berusia di atas 30 tahun yang belum menikah, masyarakat beranggapan bahwa orang tersebut tidak laku.

Yang laki-laki tidak laku mungkin karena tidak punya pekerjaan. Sedangkan yang perempuan mungkin karena wajah dan penampilannya di bawah standar.

Tentu, jika seseorang mendapat julukan di atas, akan dianggap sebagai hal yang memalukan, baik bagi pribadi maupun keluarganya.

Nah, seiring dengan perkembangan zaman, sekarang terjadi fenomena angka perkawinan turun. Dan itu, banyak yang bukan karena mereka tidak laku.

Bagi masyarakat yang tinggal di kota besar, memang sebagian orang sengaja memilih untuk tidak menikah, meskipun secara penghasilan atau penampilan telah oke-oke saja.

Makanya, mereka tidak merasa malu dan bahkan cukup pede. Mungkin karena itulah mereka tidak dijuluki dengan bujang lapuk atau perawan tua.

Pertanyaannya, kenapa semakin banyak pria dan wanita yang memilih untuk hidup sendiri, tidak terikat pada pernikahan? Paling tidak, ada beberapa kemungkinan yang dipaparkan berikut ini.

Pertama, mereka lebih memrioritaskan karier di tempatnya bekerja atau di bidang usaha yang digelutinya.

Di era modern sekarang ini, baik pria maupun wanita memiliki ambisi profesional yang tinggi, yang sering kali membuat pernikahan dan membangun keluarga menjadi hal sekunder. 

Banyak para pemburu karier yang merasa bahwa komitmen pernikahan akan membatasi peluang mereka untuk lebih berkembang lagi di bidang pekerjaannya.

Kedua, karena kemandirian secara finansial, khususnya di kalangan wanita, juga mempengaruhi keputusan untuk menunda atau bahkan menolak pernikahan. 

Wanita masa kini memiliki akses yang lebih besar terhadap pendidikan dan pekerjaan, yang membuat mereka tidak lagi bergantung pada pasangan untuk kemandirian kehidupan sehari-hari. 

Ketiga, karena nilai-nilai sosial dan budaya tentang pernikahan juga mengalami pergeseran. 

Anak muda melihat pernikahan bukan sebagai sebuah keharusan, melainkan hanya sekadar pilihan dalam mengarungi kehidupan. 

Hidup melajang tidak lagi dianggap hal yang memalukan, melainkan sebagai bentuk kebebasan untuk mengejar minat pribadi dan menjalani hidup tanpa tuntutan pernikahan.

Keempat, karena adanya tekanan finansial, seperti biaya hidup yang tinggi. Hal ini juga menjadi faktor yang menyebabkan banyak orang menunda pernikahan. 

Biaya pendidikan anak, apalagi bila sampai ke perguruan tinggi, biaya perumahan, biaya kesehatan, semuanya makin naik.

Padahal, untuk kehidupan sehari-hari saja, sudah banyak rumah tangga yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anak, merasa kerepotan.

Akibatnya, bagi yang belum menikah berpikir bahwa pernikahan dan membangun keluarga menjadi tantangan finansial yang berat. 

Kelima, karena kesenjangan gender dan peran perempuan secara budaya dan tradisional.  Banyak orang yang masih punya ekspektasi bahwa peran perempuan adalah mengurus rumah tangga dan anak-anak. 

Hal ini membuat banyak wanita merasa terbebani oleh peran yang tidak ringan tersebut, sehingga lebih memilih kehidupan melajang yang memberi kebebasan lebih besar.

Nah, itulah beberapa alasan kenapa mulai banyak orang yang masih belum menikah di usia yang tidak muda lagi.

Bagi masyarakat secara umum barangkali tidak akan mengkritisi fenomena tersebut. Bahkan, kalau pun ada anggota keluarganya yang memilih untuk tidak menikah, mereka bisa memahami.

Tapi, bagi pemerintah, isu angka perkawinan turun adalah soal serius. Ini berkaitan dengan komposisi penduduk di negara kita yang semakin menua.

Apa jadinya masa depan bangsa, bila anak-anak makin sedikit jumlahnya. Siapa nantinya yang akan melanjutkan pembangunan agar Indonesia semakin berkembang dan maju?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun