Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Setelah Mogok Kerja Gaji Hakim Naik, Bakal Ditiru Instansi Lain?

11 Oktober 2024   09:17 Diperbarui: 11 Oktober 2024   09:19 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada pemandangan ganjil di banyak kantor pengadilan di berbagai daerah, karena terlihat kosong melompong, tanpa ada kegiatan apapun. Beredar kabar kalau para hakim lagi mogok bekerja secara massal.

Ada apa kok hakim sampai-sampai meniru aksi buruh? Bukankah mogok kerja biasanya dilakukan oleh serikat pekerja yang menuntut kenaikan upah?

Ternyata, mogok massal tersebut memang berkaitan dengan kesejahteraan para hakim yang mulia, yang juga sering disebut sebagai "wakil Tuhan". Karena , terkadang nasib hidup mati seseorang bergantung pada vonis hakim. 

Terdapat 1.326 hakim melakukan cuti bersama atau mogok kerja pada hari Senin (7 Oktober 2024) lalu, seperti yang diberitakan oleh Metro TV.

Disebutkan juga bahwa aksi ini sebagai bentuk protes para hakim kepada pemerintah untuk menaikkan gaji mereka. Rupanya selama 12 tahun terakhir hakim tidak mendapatkan kenaikan tunjangan.

Mungkin karena merasa istilah mogok kerja kesannya kurang baik, sebagian hakim mengistilahkan aksinya itu sebagai gerakan cuti bersama.

Lalu, ada juga yang menyampaikan bahwa aksi itu bukan menuntut soal uang, tapi agar ada sistem yang jelas dalam pengaturan pemberian tunjangan.

Dengan demikian, diharapkan semakin banyak tenaga yang berkualitas tertarik berkarier sebagai hakim, jangan dapat yang medioker saja.

Beberapa pihak di luar kalangan hakim mengkritik langkah tersebut, menganggap bahwa hakim tidak layak melakukan aksi protes layaknya pekerja.

Stigma ”hakim sudah kaya” atau ”hakim banyak yang korup” mungkin masih banyak terdengar, semakin membuat sebagian pihak luar tidak setuju dengan aksi hakim.

Aapapun juga, aksi itu sudah terjadi. Hal ini menjadi dilema bagi pemerintah. Kalau tidak dipenuhi, bisa-bisa banyak perkara yang tertunda. 

Seperti diketahui, para hakim adalah pihak yang berwenang dalam bidang yudikatif. Wajar jika eksistensinya dirasa penting.

Tapi, semua instansi juga merasa paling penting, termasuk yang di bidang eksekutif dan legislatif.

Logikanya, penghasilan orang di yudikatif sebaiknya lebih tinggi dari eksekutif dan legislatif. Atau paling tidak, relatif sama.

Kalau dipenuhi akan jadi preseden. Instansi lain akan memilih cara serupa, yakni mogok kerja agar tuntutannya dikabulkan.

Bayangkan kalau makin banyak kementerian yang bikin aksi dan dinaikkan gajinya, dampaknya akan sangat memberatkan bagi anggaran belanja negara.

Dalam audiensi dengan DPR, beberapa hakim yang terlihat relatif muda, curhat tentang nasibnya yang bertugas di kota yang jauh dari kota yang jadi homebase-nya.

Ada yang tangisnya terisak menceritakan ia tak bisa mengahadiri pemakaman ibu mertuanya.

Tapi, cerita seperti itu sebetulnya juga lebih banyak dialami para guru atau paramedis  di daerah yang lebih terpencil lagi dari penempatan para hakim.

Pada audiensi dengan pimpinan DPR RI, Selasa (8/10) di atas, para hakim yang datang berhimpun dalam Solidaritas Hakim Indonesia (SHI).

Presiden terpilih Prabowo sempat berbicara kepada peserta audiensi lewat sambungan telepon, setelah dihubungi Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad yang merupakan pimpinan rapat.

Prabowo mengatakan akan memerhatikan kesejahteraan hakim saat memimpin nanti. Beliau pun meminta mereka untuk sabar hingga dirinya dilantik.

Harus diakui, sesama PNS saat ini nasibnya berbeda-beda. PNS di Kementerian Keuangan adalah yang paling sejahtera karena punya tunjangan khusus.

PNS yang dibawah kewenangan daerah juga berbeda-beda. Bekerja di daerah yang kaya dalam arti APBD-nya besar, tunjangannya akan lebih besar. 

Pegawai Pemprov DKI Jakarta menerima penghasilan yang lebih tinggi ketimbang daerah lainnya.

Terlepas dari cara yang ditempuh yang tidak lazim buat PNS, tuntutan para hakin agar ada penataan sistem pemberian penghasilan, memang hal yang mendesak untuk diputuskan oleh presiden terpilih. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun