Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Stres Ketika Utang Pinjol dan Paylater Sudah Menggunung

3 Oktober 2024   06:13 Diperbarui: 3 Oktober 2024   13:40 1252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dok. shutterstock, dimuat tempo.co

Sebut saja namanya Dina. Di usianya yang sudah memasuki kepala tiga, usia yang matang untuk berkeluarga, Dina masih belum mendapatkan lelaki yang sesuai untuk jodohnya.

Dina anak bungsu dari 4 bersaudara dan cukup dimanja oleh kedua orangtuanya, juga oleh kakak-kakaknya. Masalahnya, sejak 3 tahun lalu, kondisi kehidupan Dina berubah drastis.

Hal itu tepatnya setelah ibunya meninggal dunia, menyusul ayahnya yang telah berpulang beberapa tahun sebelum itu.

Perhatian dari kakak-kakaknya, karena semua sudah berkeluarga dan punya anak, tentu tidak bisa maksimal. Apalagi, kakak-kakaknya tinggal di kota yang berbeda.

Untungnya Dina sudah punya pekerjaan sebagai sales dari sebuah perusahaan asuransi yang beroperasi secara nasional, dan Dina bekerja di kantor cabang di kota kelahirannya. 

Kemanjaan Dina yang tak lagi tersalurkan setelah ditinggal ibunya, mungkin mendatangkan semacam tekanan mental.

Nah, pelarian dari tekanan mental itu yang justru yang diulas dalam tulisan ini, yakni sering berbelanja secara online (daring).

Dina juga suka jalan-jalan ke destinasi wisata. Aktivitasnya saat jalan-jalan itu direkam dan diposting di akun media sosialnya.

Kadang-kadang belanja dilakukan Dina secara langsung di mal atau di toko, sambil sekalian makan-makan di kafe bersama teman kantornya.

Kebanyakan barang yang dibelinya adalah pakaian, tas, sepatu, dan asesoris. Dina juga sering memesan makanan secara online.

Awalnya, jumlah belanjaan Dina masih tertutupi dari gaji dan bonusnya. Tapi, jangan mengira penghasilan Dina besar. 

Gaji tetapnya relatif kecil, hanya kalau Dina berhasil menggaet nasabah baru, akan ada bonus. Masalahnya, tidak gampang mendapatkan nasabah baru.

Dengan gaya Dina berbelanja yang "dikit-dikit lama-lama jadi bukit" itu, jelas akhirnya tak tertutupi dari penghasilannya.

Dina makin kebablasan karena banyaknya notifikasi di gawainya yang menawarkan pinjaman online (pinjol), dan juga metode pembayaran paylater, dengan syarat amat mudah.

Apakah sudah termasuk doom spending atau bukan, tahu-tahu utang Dina di beberapa aplikasi pinjol dan paylater telah ratusan juta rupiah.

Kenapa demikian besar utangnya? Karena untuk melunasi utang lama, Dina meminjam lagi dari pinjol yang lain, semacam gali lubang tutup lubang.

Akhirnya Dina stres berat karena lubangnya terlalu besar dan dalam, tak bisa lagi ditutupi.

Kakaknya yang selama ini tidak tahu, akhirnya tahu juga setelah curiga melihat gaya hidup adiknya. Apalagi, kemudian Dina kelihatan menyimpan rahasia yang membuatnya mentalnya down.

Dengan pendekatan dari hati ke hati, Dina mengakui semua perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulanginya.

Terpaksa kakaknya mengambil pinjaman di sebuah bank syariah dengan jangka waktu 10 tahun yang dicicil dari gajinya, untuk melunasi semua utang si adik.

Kalau Dina yang meminjam di bank, sudah pasti ditolak karena namanya sudah masuk daftar hitam di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) karena tunggakan pinjamannya.

Dina pun berjanji menyisihkan sebagian dari gajinya untuk ditransfer ke kakaknya, meskipun mungkin kakaknya ikhlas jika adiknya tak mampu melunasinya.

Doom spending, memang tengah marak tidak hanya di Indonesia, tapi juga di negara-negara lain, khususnya bagi Generasi Z. 

Fenomena ini terjadi ketika seseorang berbelanja tanpa berpikir, diduga untuk menenangkan diri karena merasa pesimis dengan ekonomi dan masa depannya.

Ciri-ciri dari doom spending adalah ketidakmampuan seseorang dalam menahan nafsu berbelanja. 

Padahal, barang-barang yang dibeli sebenarnya tidak dibutuhkan atau masuk barang sekunder. 

Peran influencer di akun media sosial yang diikuti oleh seseorang, akan memperparah fenomena ini. Mereka belanja demi pengakuan atau mengikuti tren yang sedang populer.

Selain itu, kemudahan akses belanja online, promosi yang massif oleh influencer, serta kebutuhan validasi sosial yang tinggi juga menjadi faktor utama doom spending.

Gampangnya dapat pinjaman online dan layanan paylater turut memperburuk situasi ini. Gen Z memanfaatkannya untuk belanja tanpa menganalisis kemampuan membayar di kemudian hari.

Akibatnya, mereka bisa berhadapan dengan masalah serius, yakni tagihan yang tak mampu dibayar. Hal ini berdampak pada kesehatan mental seperti stres berat hingga depresi. 

Jika sulit mengendalikan keinginan berbelanja, sebaiknya segera mencari bantuan terapis atau konselor. Selain itu, perlu mengalihkan dorongan tersebut ke aktivitas yang produktif.

Upaya pencegahan terhadap doom spending perlu dilakukan melalui edukasi keuangan yang lebih baik, agar muncul kesadaran pribadi untuk menahan diri dari gaya hidup konsumtif berlebihan.

Kembali ke kisah Dina di atas, jelaslah, kelihatannya Dina memang telah terjebak pada gaya hidup doom spending. 

Kasus yang dialami Dina diharapkan menjadi contoh yang baik, agar tidak ditiru oleh orang lain, terutama Generasi Z.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun