Dina pun berjanji menyisihkan sebagian dari gajinya untuk ditransfer ke kakaknya, meskipun mungkin kakaknya ikhlas jika adiknya tak mampu melunasinya.
Doom spending, memang tengah marak tidak hanya di Indonesia, tapi juga di negara-negara lain, khususnya bagi Generasi Z.Â
Fenomena ini terjadi ketika seseorang berbelanja tanpa berpikir, diduga untuk menenangkan diri karena merasa pesimis dengan ekonomi dan masa depannya.
Ciri-ciri dari doom spending adalah ketidakmampuan seseorang dalam menahan nafsu berbelanja.Â
Padahal, barang-barang yang dibeli sebenarnya tidak dibutuhkan atau masuk barang sekunder.Â
Peran influencer di akun media sosial yang diikuti oleh seseorang, akan memperparah fenomena ini. Mereka belanja demi pengakuan atau mengikuti tren yang sedang populer.
Selain itu, kemudahan akses belanja online, promosi yang massif oleh influencer, serta kebutuhan validasi sosial yang tinggi juga menjadi faktor utama doom spending.
Gampangnya dapat pinjaman online dan layanan paylater turut memperburuk situasi ini. Gen Z memanfaatkannya untuk belanja tanpa menganalisis kemampuan membayar di kemudian hari.
Akibatnya, mereka bisa berhadapan dengan masalah serius, yakni tagihan yang tak mampu dibayar. Hal ini berdampak pada kesehatan mental seperti stres berat hingga depresi.Â
Jika sulit mengendalikan keinginan berbelanja, sebaiknya segera mencari bantuan terapis atau konselor. Selain itu, perlu mengalihkan dorongan tersebut ke aktivitas yang produktif.
Upaya pencegahan terhadap doom spending perlu dilakukan melalui edukasi keuangan yang lebih baik, agar muncul kesadaran pribadi untuk menahan diri dari gaya hidup konsumtif berlebihan.