Artinya, kuat dugaan belum berjalannya prinsip sportivitas, yang memicu protes dari pihak yang merasa dicurangi.
Di lain pihak, ada atlet dan ofisial yang sangat bernafsu meraih kemenangan, sampai-sampai mengorbankan nilai sportivitas dan nilai persatuan bangsa.
Bahwa bagi daerah yang tidak punya banyak atlet nasional, wajar kalau sangat bangga punya atlet yang mampu mempersembahkan medali, apalagi berupa medali emas.
Tapi, prestasi bagus harus dicapai melalui proses yang baik, yakni dengan menyemai benih yang unggul dan dilatih secara konsisten oleh pelatih yang mumpuni.
Kalau cara meraih medali dengan bermain mata dengan wasit atau cara-cara tidak sportif lainnya, akan menjadi fenomena mengejar kebanggaan daerah yang salah kaprah.Â
Belum lagi kalau kita bahas dampak negatif lain dari pelaksanaan PON, seperti kemungkinan terjadinya korupsi.
Menu makanan yang sangat sederhana, jauh di bawah nilai anggaran per atlet untuk sekali makan, memperkuat dugaan adanya "permainan" dalam pengadaan makanan.
Kualitas bangunan dan akses jalan ke venue pertandingan untuk cabang olahraga tertentu, juga dipertanyakan. Celakanya, setelah PON berakhir, bangunan itu tidak terpelihara dan mubazir.
Hal itu berkaca pada PON-PON sebelumnya. Stadion yang dipakai untuk PON di Pekanbaru, Samarinda, bahkan juga di Jayapura yang relatif baru, kondisinya kurang terawat.
Pada awalnya, PON memang digilir penyelenggaraannya di berbagai daerah. Solo mendapat kehormatan menjadi tuan rumah PON pertama kalinya pada tahun 1948.
Namun, di era Orde Baru, setelah pelaksanaan di Surabaya tahun 1969, PON selalu berlangsung di Jakarta, agar efisien karena tidak perlu membangun tempat pertandingan yang baru.