Pekan Olahraga Nasional (PON) ke XXI yang diselenggarakan oleh dua provinsi, Aceh dan Sumatera Utara, baru saja ditutup tadi malam, Jumat (20/9/2024), dalam suatu acara yang meriah.
Acara penutupan tersebut dilakukan di Stadion Utama Sumatera Utara, Deli Serdang. Ini berbeda dengan venue pembukaan yang dilangsungkan di Stadion Harapan Bangsa, Banda Aceh.
Pada PON berikutnya empat tahun mendatang, giliran dua provinsi di Nusa Tenggara yang terpilih jadi tuan rumah, yakni Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Kalau kita simak pemberitaan di media massa, greget PON 2024 kurang begitu terlihat. Memang, penonton yang datang ke berbagai venue lumayan banyak.
Tapi, masyarakat secara umum kurang antusias. Di Medan sebagai contoh, banyak yang tidak tahu kalau di kotanya sendiri dan di beberapa kota di sekitar Medan, lagi ada pesta olahraga.
Pemberitaan terkait PON yang relatif sepi itu, tiba-tiba dikejutkan dengan postingan viral ketika rekaman pertandingan sepak bola antara tuan rumah Aceh vs Sulteng beredar.
Bukan kelihaian pemain menggocek bola yang membuat viral, tapi adegan pemain memukul wasit yang bikin heboh. Saking kuatnya pukulan itu, wasit pun tersungkur.Â
Tentu, pemukulan oleh pemain Sulteng itu karena menilai wasit memihak tuan rumah. Akhirnya, Aceh dinyatakan menang WO karena Sulteng menolak main di babak perpanjangan waktu.
Ternyata bukan hanya di cabang sepak bola yang terjadi kericuhan, tapi juga di cabang olahraga futsal, tinju, muaythai, dan mungkin ada lagi yang lain.
Dan kalau dilacak informasi yang lebih dalam, pada PON-PON sebelumnya juga mengalami kericuhan, meskipun dengan berbagai perbedaan faktor pemicunya.
Artinya, kuat dugaan belum berjalannya prinsip sportivitas, yang memicu protes dari pihak yang merasa dicurangi.
Di lain pihak, ada atlet dan ofisial yang sangat bernafsu meraih kemenangan, sampai-sampai mengorbankan nilai sportivitas dan nilai persatuan bangsa.
Bahwa bagi daerah yang tidak punya banyak atlet nasional, wajar kalau sangat bangga punya atlet yang mampu mempersembahkan medali, apalagi berupa medali emas.
Tapi, prestasi bagus harus dicapai melalui proses yang baik, yakni dengan menyemai benih yang unggul dan dilatih secara konsisten oleh pelatih yang mumpuni.
Kalau cara meraih medali dengan bermain mata dengan wasit atau cara-cara tidak sportif lainnya, akan menjadi fenomena mengejar kebanggaan daerah yang salah kaprah.Â
Belum lagi kalau kita bahas dampak negatif lain dari pelaksanaan PON, seperti kemungkinan terjadinya korupsi.
Menu makanan yang sangat sederhana, jauh di bawah nilai anggaran per atlet untuk sekali makan, memperkuat dugaan adanya "permainan" dalam pengadaan makanan.
Kualitas bangunan dan akses jalan ke venue pertandingan untuk cabang olahraga tertentu, juga dipertanyakan. Celakanya, setelah PON berakhir, bangunan itu tidak terpelihara dan mubazir.
Hal itu berkaca pada PON-PON sebelumnya. Stadion yang dipakai untuk PON di Pekanbaru, Samarinda, bahkan juga di Jayapura yang relatif baru, kondisinya kurang terawat.
Pada awalnya, PON memang digilir penyelenggaraannya di berbagai daerah. Solo mendapat kehormatan menjadi tuan rumah PON pertama kalinya pada tahun 1948.
Namun, di era Orde Baru, setelah pelaksanaan di Surabaya tahun 1969, PON selalu berlangsung di Jakarta, agar efisien karena tidak perlu membangun tempat pertandingan yang baru.
Ketika Orde Baru tumbang dan masuk ke era Reformasi, kembali berbagai daerah berebut ingin jadi tuan rumah.Â
Dengan menjadi tuan rumah, dinilai akan memacu pertumbuhan ekonomi karena banyak hal perlu dibangun, sehingga uang akan berputar lebih banyak.
Tapi, dengan sejumlah ekses negatif di atas, pemerintah, KONI dan pihak lain terkait, perlu duduk bersama untuk mencari solusi.Â
Boleh saja PON tetap di daerah, asal tanpa korupsi dan menjunjung tinggi sportivitas, serta mengutamakan terbangunnya persatuan dan persaudaraan sesama anak bangsa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI