Sejak saya resmi menjadi warga Jakarta pada tahun 1986, saya menjadi salah satu saksi sejarah, betapa pesatnya perkembangan pusat perbelanjaan di kota yang sebentar lagi akan kehilangan statusnya sebagai Ibu Kota Negara itu.
Di tahun 1986, meskipun belum lazim disebut sebagai mal, beberapa tempat belanja modern yang nyaman untuk ukuran saat itu, baru ada di Ratu Plaza, Duta Merlin, Sarinah Thamrin, dan Sarinah Jaya.Â
Tapi, coba tengok apa yang terlihat hari ini? Bertebaran mal besar dan megah dengan berbagai fasilitas yang sangat memanjakan pelanggan, termasuk pelanggan yang sekadar sight seeing.
Tanpa menggunakan aplikasi pencari informasi, secara spontan saya bisa menuliskan mal-mal kelas menengah ke atas berikut ini.
Di Jakarta Pusat ada Grand Indonesia, Plaza Indonesia, Sarinah Thamrin, Plaza Senayan, FX Sudirman, Senayan City, dan Atrium Senen.Â
Di Jakarta Selatan ada Pacific Place, Lotte Shopping Avenue, Kota Kasablanka, Kuningan City, Epicentrum, Kemang Village, Pejaten Village, Sarinah Jaya, Blok M Plaza, dan Pondok Indah Mall (PIM).
Di Jakarta Barat, ada Mal Taman Anggrek, Central Park, Neo Soho Podomoro City, Mal Ciputra, dan Mal Puri Indah.Â
Di Jakarta Utara ada Pluit Village, Baywalk Mall, Mal Kelapa Gading, Artha Gading, Mall of Indonesia, PIK Avenue, La Piazza, dan Summarecon Kelapa Gading.Â
Sedangkan di Jakarta Timur ada AEON Mall Jakarta Garden City, Cibubur Junction, Arion Mall, dan Tamini Square.
Belum lagi bila dimasukkan mal kelas menengah ke bawah, yang fasilitasnya juga banyak, cuma tidak terlalu luas dan tidak punya counter barang-barang branded.
Jangan lupa, di kota-kota satelit yang secara administrasi pemerintahan tidak masuk Jakarta, banyak pula mal bagus seperti di kawasan Bintaro, Serpong, Depok, dan Bekasi.
Pertanyaannya, kenapa mal demikian menjamur? Padahal, mal saat ini tidak lagi tepat disebut sebagai pusat perbelanjaan, melainkan lebih dominan sebagai pusat kuliner.
Nah, justru karena menjadi pusat kuliner itulah, mal masih tetap ramai. Hanya pada tahap permulaan berjangkitnya pandemi Covid-19 mal-mal sepi, bahkan tidak boleh beroperasi.
Dulu, pengunjung datang ke mal pada umumnya untuk berbelanja dan mencari makan sebagai acara sampingan, khususnya bila selesai berbelanja telah memasuki jam makan.
Sekarang, kondisinya jadi terbalik. Tujuan utama ke mal untuk mencari makan. Sambil menuju atau pulang dari food court dan kebetulan melihat barang bagus, maka berbelanja bisa terjadi tanpa terencana.
Makan-makan di mal telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat kota besar, terutama bagi warga kelas menengah ke atas.Â
Di hari kerja, orang kantoran menjadikan mal sebagai tempat makan. Tak heran, area food court sangat ramai di jam makan siang.
Pada hari Sabtu, Minggu, dan hari libur nasional, giliran rombongan keluarga, rombongan reuni atau arisan yang makan-makan di mal.
Banyak warga kota besar yang paling tidak sekali seminggu mendatangi mal. Menurut persepsi umum, makan di mal lebih terjamin kebersihannya, lebih menarik penyajiannya dan lebih nyaman.Â
Artinya, first impression bagi pengunjung mal terhadap restoran yang ada di sana sangat positif, karena didesain sedemikian rupa sehingga membuat nyaman, selain kondisi yang dingin karena sistem AC sentral.
Dari sebuah penelitian sederhana, terungkap bahwa aktivitas yang paling disukai saat berkunjung ke mal yakni makan di restoran atau food court, disusul menonton film di bioskop, belanja pakaian, berkeliling saja atau window shopping, dan lainnya.
Mayoritas responden mengaku mengunjungi mal yang lokasinya berdekatan dengan rumah dan suasana mal yang nyaman. Alasan lainnya adalah produk lengkap atau outlet beragam, dan adanya promo menarik yang ditawarkan oleh pihak mal.
Jelaslah, yang sekarang menghidupkan mal adalah food court, arena permainan anak-anak, dan bioskop. Bukan lagi counter pakaian dan supermarket, karena banyak orang memilih belanja secara online.
Di hari-hari tertentu, mal juga menjadi tempat pameran, tempat bertemu artis dengan penggemarnya, dan tempat event khusus lainnya.Â
Tapi, area mal yang konsisten setiap hari ramai, adalah area untuk makan-makan. Memang, bagi kalangan yang punya dana sangat terbatas, tidak akan makan di mal, karena harganya lebih mahal ketimbang di kios pinggir jalan.
Lalu, apakah mereka yang punya uang tidak bosan sering-sering makan di mal? Kebosanan makan di mal relatif jarang terjadi, karena demikian beragamnya pilihan yang ada. Tentu, apa yang dimakan bisa silih berganti.
Ada yang bergaya kafe, yang menawarkan kopi dan minuman ringan, juga aneka makanan ringan. Di sini banyak anak muda yang ngopi-ngopi cantik sambil sibuk bekerja dengan laptop.
Untuk makan "berat", tersedia banyak sekali pilihan, baik makanan tradisional maupun asing (Amerika, Eropa, Jepang, Korea, Timur Tengah, Thailand, Malaysia, dan sebagainya).
Adapun mal yang saya sukai, juga mempertimbangkan adanya musala yang luas dan nyaman.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H