Sadikin dan Jamila di sini bukanlah nama orang, tapi berkaitan dengan kondisi seseorang, yakni mereka yang "sakit sedikit menjadi miskin" (sadikin) dan "jatuh miskin lagi" (jamila).
Jelas, sadikin dan jamila bukan kondisi yang diinginkan seseorang, tapi menjadi hal yang tak terhindarkan bagi kelompok masyarakat tertentu, ketika tingkat kesejahteraannya menurun.
Bukankah sekarang pembicaraan tentang nasib kelas menengah yang mepet-mepet ke kelas bawah, lagi sering mengemuka di media massa?
Per definisi, range kelas menengah itu memang amat lebar. Lazimnya terbagi atas 3 kelompok, yakni menengah-bawah, menengah-menengah, dan menengah-atas.
Celakanya, di negara kita, yang termasuk kelas menengah itu didominasi oleh yang mepet-mepet itu tadi. Sehingga, jika terjerembab sedikit saja, jatuhlah statusnya masuk kelompok bawah.
Kenapa mereka bisa terjerembab? Ada beberapa kemungkinan yang jadi penyebabnya, yakni seperti diuraikan berikut ini.
Pertama, mereka yang tadinya punya pekerjaan tetap, kemudian terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Jumlah yang terkena PHK ini semakin banyak, seiring dengan banyaknya perusahaan yang bangkrut.
Kedua, yang tidak kena PHK kondisinya tentu lebih baik. Tapi, daya belinya bisa turun karena kenaikan harga barang, terutama kelompok bahan pokok.
Ketiga, mereka yang terancam karena akan diketatkannya pemberian subsidi BBM. Maksudnya, pengisian bahan bakar jenis biosolar dan pertalite akan lebih selektif.
Bahkan, tiket kereta api pun kabarnya akan dikaitkan dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Bisa jadi, kelompok pekerja tetap tidak lagi menikmati tiket murah.