Pakar Komunikasi Politik Antonius Benny Susetyo mengatakan, fenomena calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) menandakan matinya demokrasi (Tribunnews.com, 7/8/2024).
Dengan calon tunggal, maka pemilih hanya dihadapkan pada dua pilihan "ya" dan "tidak". Kalau ya berarti memilih calon tunggal itu. Atau memilih kotak kosong, jika "tidak".Â
Artinya, rakyat tidak punya pembanding antar calon, atau ada kesan parpol-parpol yang kompak mengusung calon tunggal memaksakan kehendaknya pada rakyat.
Dengan calon tunggal, semua parpol pengusung ingin memastikan kemenangan atau mengunci kemenangan sedini mungkin.
Dari beberapa kasus calon tunggal, rata-rata memang bisa menang. Kecuali pada 2018 di Pilkada Kota Makassar, di mana paslon Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi kalah dari kotak kosong.
Maka, Pilkada Kota Makassar diulang lagi pada tahun 2020 yang diikuti 4 paslon dan Danny Pomanto terpilih sebagai pemenang.
Menurut Benny, demokrasi adalah sistem yang memungkinkan masyarakat berpartisipasi aktif dalam menentukan arah dan kebijakan pembangunan.
Jadi, dalam pilkada seharusnya menawarkan beberapa calon kepada masyarakat. Calon tunggal mungkin lahir secara karbitan, atau lebih berbahaya lagi bila dilakukan dengan "membeli" dukungan banyak parpol.
Akibatnya, bila calon tunggal terpilih, cenderung akan mengutamakan kepentingan parpol pendukungnya ketimbang kepentingan rakyat banyak.
Nah, sekarang mari kita lihat apa yang terjadi hingga hari ini. Ada kemungkinan di DKI Jakarta, Sumatera Utara, dan Jawa Timur akan muncul calon tunggal.