Masyarakat Minangkabau yang hidup di pedalaman juga memiliki hutan adat yang dikelola secara bijaksana, dalam arti dijaga dan dipelihara untuk keberlanjutan di masa depan.
Praktik menjaga hutan adat dilakukan dengan cara menanami hutan adat dengan berbagai macam pekayuan, obat-obatan, dan tak jarang juga dijadikan tempat untuk ritual adat.Â
Hal tersebut membuktikan bahwa masyarakat Minangkabau sangat menjaga dan menghormati alam sebagai sumber kehidupan.
Masyarakat Minangkabau menyadari bahwa pemanfaatan yang berlebihan, yang sudah termasuk mengeksploitasi, akan merusak alam, bahkan mengganggu keseimbangan ekosistem.Â
Praktik memanfaatkan sumber daya alam seperti kayu, ikan, dan hasil hutan lainnya harus dilaksanakan dengan bijak dan hati-hati, dan tidak boleh bersifat rakus.
Caranya adalah dengan memperhatikan prinsip keberlanjutan, sekaligus agar tidak merusak lingkungan ekosistem alam.
Tapi, kalau kita kritisi apa yang terjadi di zaman sekarang di Sumatera Barat, falsafah berguru pada alam ini mulai terlihat ada penyimpangan.Â
Hal ini terbukti dengan semakin seringnya bencana alam yang menimpa Ranah Minang. Memang, bencana tersebut ada kaitannya dengan kondisi geografis yang rawan gempa bumi dan juga erupsi gunung berapi.
Namun, harus diakui, musibah seperti tanah longsor juga terjadi akibat aktivitas manusia yang merusak struktur tanah. Penggalian pasir yang bahkan dengan mengorbankan bukit, terlihat di beberapa lokasi.
Beberapa bulan yang lalu, Sumatera Barat terdampak oleh banjir lahar dingin dan tanah longsor. Penyebabnya adalah hujan dengan intensitas lebat, ditambah material lahar dingin erupsi Gunung Marapi.
Banyak bangunan yang hanyut, termasuk Kafe Xakapa, kafe megah yang belum lama dibangun di pingir jurang, di poros jalan raya Padang-Bukittinggi. Kafe ini menjadi favorit pengunjung untuk berfoto-foto.