Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Cara Jitu Stop Judi Online, Naming is Shaming

1 Agustus 2024   04:51 Diperbarui: 1 Agustus 2024   04:52 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ivan Yustiavandana|dok. ANTARA FOTO/Galih Pradipta

Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana tanpa ragu menyebutkan bahwa lebih dari 1.000 anggota legislatif bermain judi.

Padahal, Ivan berbicara dalam rapat dengan komisi bidang hukum DPR di Senyan, Jakarta. Jelas ini membuat merah kuping anggota dewan yang terhormat itu.

Agar tidak salah pengertian, 1.000 orang dimaksud terdiri dari anggota DPR dan DPRD di seluruh Indonesia, termasuk personil sekretariatnya.

Bahkan, Ivan menambahkan semua kalangan bermain judi online, termasuk tentara dan polisi. Maksudnya, tak ada lembaga atau daerah yang steril dari judi online.

Ironisnya, mayoritas pemain judi online adalah mereka yang berpenghasilan tak lebih dari Rp 1 juta sebulan.

Mereka sudah bukan dalam tahap coba-coba, melainkan ketagihan dan terkunci oleh utang. Duitnya sudah habis.

Tak Ada Rumus Menang Judi

Dalam wawancaranya dengan Majalah Tempo edisi 21 Juli 2024, Ivan mengatakan tidak ada rumus untuk menang bermain judi. Nyaris semuanya kalah. Kalkulasi kemenangannya kecil sekali.

Analisis yang dilakukan PPATK menunjukkan dari deposit yang mencapai Rp 60 triliun, yang balik ke masyarakat cuma sekitar Rp 70 miliar. 

Artinya, yang kembali ke pejudi cuma sekitar 0,1 persen, sementara sisanya ditelan habis oleh para bandar judi online. 

Pejudi merasa menang ketika mendapatkan uang Rp 1  juta, tapi lupa kalau sudah menghabiskan Rp 10 juta. Dengan Rp 1 juta itu ia seakan-akan sudah menang besar, lalu main lagi hingga uangnya ludes.

Menariknya, data PPATK memperlihatkan 15 persen dari pemain judi online adalah wanita. Meskipun cuma 15 persen, tapi justru mereka yang paling boros.

Menkominfo Budi Arie Setiadi mengatakan bahwa pemerintah serius melawan judi online. Pada 2024, perputarannya diprediksi mencapai Rp 900 triliun jika tidak ada pencegahan apapun (Kompas, 30/7/2024).

Seperti layaknya perang, dalam pemberantasan judi online, pemerintah punya strategi yang melibatkan lintas sektoral untuk mengatasinya.

Hanya saja, selama ini peperangan tersebut baru terlihat dengan memblokir situs-situs judi online, memblokir rekening, dan menindak para pelaku yang terlibat dalam aktivitas judi online.

Prinsip KYC dan Naming is Shaming

Pemblokiran rekening dimaksudkan agar akses transaksi judi online dipersempit. Dalam hal ini, bank harus menerapkan prinip Know Your Customer (KYC).

KYC tidak sekadar mencocokkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dengan data di Dukcapil untuk memastikan keasliannya. Tapi, juga dengan mempelajari profil pelanggan.

Diduga rekening bank yang dibuka untuk menampung hasil judi online menggunakan KTP asli, tapi si pemilik KTP tidak tahu kalau KTP-nya dimanfaatkan orang lain untuk membuka rekening.

Makanya, profil nasabah harus dicermati. Misalnya ada orang desa yang penghasilannya kecil, tapi uang masuk ke rekeningnya sering dan besar jumlahnya, pantas untuk diselidiki.

Dengan mengetahui siapa sesungguhnya pemilik rekening yang dicurigai, diharapkan aktor di belakang layar atau cukong besar yang jadi bandar judi akan terlacak. 

Lalu, untuk menggugah kesadaran masyarakat, konsep naming is shaming perlu dilakukan. Maksudnya, identitas pribadi pejudi jika diumumkan diharapkan akan mempermalukannya. 

Tujuannya adalah untuk menimbulkan efek jera dan menjadi peringatan bagi yang lain agar tidak ikut-ikutan judi online.

PPATK sejauh ini baru mengumumkan provinsi dengan pemain terbanyak di Indonesia, yakni Jawa Barat. Namun, PPATK siap jika diminta oleh suatu instansi untuk menyebutkan anggotanya yang terlibat.

Institusi yang aktif memantau personilnya yang main judi diharapkan segera menjatuhkan hukuman secara internal institusi. Ini juga untuk efek jera.

Strategi yang lebih agresif, umpamanya dengan menempuh jalur penindakan hukum, juga perlu ditempuh, meskipun memenjarakan jutaan orang, rasanya tidak mungkin.

Siapkan generasi emas yang bersih judi, narkoba, dan miras

Terakhir, demi menyiapkan generasi emas, anak-anak perlu pula dipagari agar tidak tercemar praktik judi online. Tidak itu saja, generasi emas juga perlu bersih dari narkoba dan miras.

PPATK menyebut jumlah anak yang terpapar judi online meningkat pesat dalam tujuh tahun terakhir. Hal ini sejalan dengan makin banyaknya anak yang punya ponsel pintar.

Ponsel pintar ini memang ibarat pedang bermata dua, bisa membantu untuk mendapatkan ilmu, tapi bisa pula menjerumuskan ke lembah hitam perjudian, narkoba, miras, dan pornografi.

Khusus untuk konteks peperangan terhadap judi online, bila anak-anak bisa dipagari, maka akan mengurangi demand di masa mendatang. Dengan begitu, supply perjudian akan berkurang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun