Pejudi merasa menang ketika mendapatkan uang Rp 1 Â juta, tapi lupa kalau sudah menghabiskan Rp 10 juta. Dengan Rp 1 juta itu ia seakan-akan sudah menang besar, lalu main lagi hingga uangnya ludes.
Menariknya, data PPATK memperlihatkan 15 persen dari pemain judi online adalah wanita. Meskipun cuma 15 persen, tapi justru mereka yang paling boros.
Menkominfo Budi Arie Setiadi mengatakan bahwa pemerintah serius melawan judi online. Pada 2024, perputarannya diprediksi mencapai Rp 900 triliun jika tidak ada pencegahan apapun (Kompas, 30/7/2024).
Seperti layaknya perang, dalam pemberantasan judi online, pemerintah punya strategi yang melibatkan lintas sektoral untuk mengatasinya.
Hanya saja, selama ini peperangan tersebut baru terlihat dengan memblokir situs-situs judi online, memblokir rekening, dan menindak para pelaku yang terlibat dalam aktivitas judi online.
Prinsip KYC dan Naming is Shaming
Pemblokiran rekening dimaksudkan agar akses transaksi judi online dipersempit. Dalam hal ini, bank harus menerapkan prinip Know Your Customer (KYC).
KYC tidak sekadar mencocokkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dengan data di Dukcapil untuk memastikan keasliannya. Tapi, juga dengan mempelajari profil pelanggan.
Diduga rekening bank yang dibuka untuk menampung hasil judi online menggunakan KTP asli, tapi si pemilik KTP tidak tahu kalau KTP-nya dimanfaatkan orang lain untuk membuka rekening.
Makanya, profil nasabah harus dicermati. Misalnya ada orang desa yang penghasilannya kecil, tapi uang masuk ke rekeningnya sering dan besar jumlahnya, pantas untuk diselidiki.
Dengan mengetahui siapa sesungguhnya pemilik rekening yang dicurigai, diharapkan aktor di belakang layar atau cukong besar yang jadi bandar judi akan terlacak.Â