Mungkin di antara kita, ada yang sudah pernah berinteraksi dengan orang yang secara fisik terlihat sudah berusia dewasa, tapi tingkah lakunya masih kekanak-kanakan.
Bahkan, tak sedikit pasangan yang lagi membinan hubungan pacaran, akhirnya putus karena salah satu pihak diduga terkena Peter Pan Syndrome.
Ya, Peter Pan Syndrome meskipun bukan diagnosis resmi untuk orang yang menderita gangguan mental, tapi sering istilah ini digunakan untuk orang dewasa yang kekanak-kanakan.Â
Asal-usul istilah ini dikutip dari karakter fiksi bernama Peter Pan karya JM Barrie yang ditulis pada tahun 1902.Â
Adapun ciri-ciri orang yang terkena sindrom di atas adalah sulit untuk berkomitmen, dalam arti sering mengabaikan janjinya.
Berikutnya, mereka sulit untuk konsisten bekerja dalam jangka waktu yang panjang, seperti yang dilakukan karyawan atau pekerja pabrik pada umumnya.
Oleh karena itu, mereka jadi sulit untuk bertanggung jawab dan tak mampu menentukan arah hidup. Intinya, mereka tak bisa hidup mandiri.
Tentu, apabila mereka menjadi suami atau istri, akan sulit sekali menjalankan peran atau fungsinya dengan baik dalam rumah tangga.
Perlu diketahui, penderita sindrom tersebut bukan hanya tidak matang secara psikologis, tapi juga secara sosial dan seksual.
Penderita Peter Pan Syndrome tersebut lebih banyak diidap laki-laki, meskipun juga ada yang perempuan.
Penyebabnya yang terutama adalah karena pola asuh yang terlalu permisif, dalam arti orang tua membolehkan anak melakukan apa saja yang ia inginkan.
Bisa juga karena pola asuh yang terlalu protektif atau selalu dilindungi orang tua. Sering pula orang tua mengatakan dunia luar itu berbahaya.
Akibatnya, si anak punya cara pandang yang salah terhadap dirinya sendiri dan lingkungan di sekitarya.
Kemudian, karena tidak percaya diri dan selalu cemas ketika berinteraksi dengan orang lain, mereka membentengi diri dengan bersikap layaknya anak kecil.
Kalau kita terlanjur punya anggota keluarga yang diduga terkena Peter Pan Syndrome, apa yang perlu kita lakukan? Paling tidak, 3 hal berikut ini bisa membantu:
Pertama, mendatangi psikolog atau psikiater agar dapat diterapi dengan tepat. Tentu, sebelumnya dilakukan pemeriksaan oleh ahlinya untuk mendiagnosis.
Kedua, dukungan dari keluarga sangat penting dan juga dari lingkungan sekitar. Dukungan tersebut dengan mendengar keluh kesah si penderita, tanpa terlalu mengintervensi.
Ketiga, meskipun tanpa terkesan mengintervensi, motivasi dari keluarga tetap diperlukan agar mereka lebih berani. Terhadap kemajuan kecil yang dialaminya, berikan apresiasi.
Demikian sekilas tentang penyakit Peter Pan Syndrome, semoga bermanfaat bagi para pembaca Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H