Tentu, dalam presentasi itu, pejabat bank akan memaparkan apa saja keuntungan atau apa saja fasilitas dan kemudahan bagi pihak penyimpan dana jumbo.
Adapun keuntungan bagi bank sangat jelas, dana itu ibarat darah. Tanpa dana, bank akan mati. Dana yang besar akan diputarkan bank sebagai kredit, agar mendapat cuan lumayan.
Tak heran, keberhasilan melobi nasabah gemuk tak selesai begitu dana masuk. Nasabah kelompok khusus itu harus selalu dimanjakan agar tidak ngambek.
Bahaya sekali kalau nasabah inti itu ngambek. Dengan sekali aksi, dananya bisa minggat ke bank pesaing. Akhirnya, bank yang kehilangan dana akan nangis bombay.
Makanya, untuk nasabah spesial itu, bank membuat divisi khusus, seperti divisi private banking dan divisi hubungan kelembagaan.
Nah, baru-baru ini di sejumlah media massa diberitakan soal Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah yang menarik dananya sekitar Rp 13 triliun dari Bank Syariah Indonesia (BSI).
Dana jumbo tersebut kemudian dipindahkan ke beberapa bank syariah lain yang menjadi pesaing BSI.Â
Tentu, mengingat BSI hingga saat ini adalah bank syariah terbesar di Indonesia, pemindahan dana Muhammadiyah tersebut mungkin tidak berpengaruh secara signifikan.Â
Sekadar catatan, total aset BSI pada posisi akhir Maret 2024 tercatat sebesar Rp 358 triliun. Adapun total dana pihak ketiga yang dihimpunnya sebesar Rp 297 trilun.
Jumlah dana BSI di atas terlihat dominan karena pesaing terdekatnya jauh tertinggal. Ini tidak mengherankan karena bank ini hasil merger 3 bank syariah milik 3 bank BUMN (Mandiri, BRI, dan BNI).
Namun demikian, aksi yang dilakukan Muhammadiyah itu pasti ada dampaknya jika dilihat dari sisi reputasi.Â