Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Langkanya Keteladanan, Omong Kosong Pendidikan Karakter

28 Mei 2024   07:25 Diperbarui: 28 Mei 2024   07:25 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dok. kajianpustaka.com

 

Kecelakaan bus saat study tour yang dilakukan rombongan dari salah satu SMA di Depok, Jawa Barat, menimbulkan pro dan kontra tentang pelaksanaan kegiatan sejenis yang dilakukan banyak sekolah.

Terlepas dari kasus kecelakaan bus tersebut, ada kesan yang ditangkap masyarakat bahwa sekolah diuntungkan dengan adanya acara study tour.

Guru-guru yang ikut study tour tidak perlu membayar, karena dari kontribusi per pelajar kemungkinan sudah dilebihkan, agar cukup untuk membiayai guru pendamping.

Bahkan, ada dugaan, dari pihak perusahaan bus yang digunakan, ada cashback untuk sekolah. Jadi, pemilihan bus antara lain dengan mempertimbangkan besarnya cashback itu.

Kalau dugaan tersebut benar, jelas faktor idealisme yang jadi pegangan guru dalam bertindak atau dalam memutuskan sesuatu, mulai luntur.

Itu baru dilihat dari satu kasus saja. Belum lagi kalau dibahas saat penerimaan murid baru, ada saja isu "permainan" bermunculan dalam percakapan antar orang tua murid.

Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam sebuah rilisnya tertanggal 18 September 2023 mencatat terdapat 76 dari 242 kasus korupsi pendidikan yang ditindak penegak hukum, terjadi di sekolah. 

Kasus di sekolah itu 18 persen berbentuk pungli. Hal ini bisa terjadi saat penerimaan peserta didik baru, saat menjelang ujian, dan saat kenaikan kelas.

Demikian pula pemungutan uang untuk pembelian pakaian seragam, buku, praktikum, menebus surat keterangan lulus, dan sebagainya dengan harga yang tidak wajar, bisa disebut pungli.

Menurut ICW, angka 76 kasus itu terdengar tidak banyak, karena pungli di sekolah seringkali tidak terungkap atau tidak sampai ke meja penegak hukum.

Memang, banyak sekali guru yang baik, sehingga kasihan juga bila semua guru disamaratakan. Tapi, kesan yang ditimbulkan, gara-gara beberapa orang oknum guru, citranya jadi negatif.

Kebetulan, yang disebut oknum tersebut punya posisi yang menentukan dalam pengambilan keputusan. Maka, pusaran pungli di dunia pendidikan menjadi sulit untuk dihabiskan.

Faktor gaya hidup juga ikut berkontribusi. Seorang guru sudah tidak zamannya lagi bergaya ala Oemar Bakri dalam lagu Iwan Fals yang populer di era 1980-an.

Sekarang eranya telah berubah. Kehidupan guru sudah jauh lebih baik, sehingga rata-rata sudah punya rumah dan mobil, bagi guru yang berstatus PNS.

Masalahnya, dengan punya mobil, gaya hidup pun harus menyesuaikan. Perlu jalan-jalan di hari libur, perlu belanja dan makan-makan di mal, perlu punya pakaian yang branded dan sebagainya.

Nah, kalau gaya hidup konsumtif tersebut sudah menjadi "ritual", tentu gaji yang sebenarnya sudah memadai, tidak lagi cukup. Lalu, muncullah godaan pungli bagi yang tidak kuat iman.

Akibatnya, faktor keteladanan yang sangat diharapkan dari seorang guru di hadapan murid-muridnya, sudah tidak terlihat lagi.

Dengan demikian, jika di depan kelas guru mengajarkan soal etika, soal budi pekerti, atau soal pendidikan karakter, tidak lagi efektif. 

Soalnya, guru yang mengajarkan itu sendiri gagal mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-harinya.

Guru pun tidak bisa disudutkan begitu saja. Bukankah di rumah, banyak pula orang tua yang tidak mampu menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya.

Buktinya, ada orang tua yang gigih melakukan apa saja, termasuk dengan memberikan gratifikasi pada oknum tertentu, agar anaknya diterima di sekolah favorit.

Padahal, secara ketentuan, si anak tidak memenuhi syarat untuk diterima. Tapi, dengan berbagai rekayasa, semua bisa "diatur".

Artinya, problem pembangunan karakter bangsa kita, tidak hanya bagi anak-anak, tapi juga bagi orang tua, perlu dimulai dari keteladanan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun