Soalnya, di Singapura gaji bulanan seseorang saat dalam usia kerja, dipotong 20 persen untuk pensiun dan asuransi kesehatan.
Namun, bagi orang lain yang merasa kasihan terhadap lansia yang bekerja menjadi pelayan restoran, tentu bisa pula dimaklumi. Pekerjaan pelayan cenderung termasuk blue collar.
Ya, blue collar sebetulnya menggambarkan pekerja yang sangat menguras fisik, seperti buruh bangunan, buruh pabrik, dan sebagainya.
Tapi, pelayan restoran karena pekerjaannya juga bersifat fisik, meskipun di lain pihak lebih menekankan soal kemampuan berkomunikasi, boleh dianggap mengarah ke blue collar.
Di sisi lain, tak akan ada orang yang kasihan terhadap lansia yang masih bekerja di posisi yang termasuk white collar. Dalam hal ini, pekerjaannya lebih bersifat pemikiran, bukan fisik.
White collar lansia di Indonesia banyak yang menjadi komisaris perusahaan, pembina di suatu organisasi, penasehat, dewan pertimbangan, majelis syuro, atau jabatan lain yang sejenis.
Jadi konsultan, dosen tidak tetap, juga termasuk yang banyak dimanfaatkan para eksekutif yang sudah memasuki masa pensiun.
Rata-rata, mereka memang sebelumnya lama berkecimpung sebagai jajaran manajemen di suatu perusahaan, atau jadi pejabat di instansi pemerintah.
Maka, lansia yang aktif dalam pekerjaan white collar itu dalam posisi masih dibutuhkan. Pengalamannya sangat bermanfaat bagi suatu perusahaan atau suatu lembaga.
Kelompok lansia profesional itu dipekerjakan bukan karena unsur belas kasihan, meskipun mungkin ada motif sebagai penghormatan atas jasanya di masa lalu.
Nah, sekarang di negara kita lagi ramai dibicarakan soal lowongan kerja bagi lansia, khususnya di bidang blue collar seperti petugas di perusahaan yang bergerak di usaha kuliner.