Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bedanya Bullying di Sekolah Kedinasan dan Kedokteran Spesialis

14 Juli 2024   07:38 Diperbarui: 14 Juli 2024   07:45 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin di acara Kick Andy yang ditayangkan Metro TV (Minggu, 23/6/2024) mengungapkan kenapa beliau mengangkat soal bullying atau perundungan di pendidikan kedokteran.

Bahwa perundungan di berbagai kampus, terutama di perguruan tinggi kedinasan, mungkin sudah dianggap berita biasa, meskipun sebenarnya tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun.

Korban perundungan di perguruan tinggi kedinasan bahkan sudah memakan korban jiwa, seperti dulu terjadi di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN).

Terakhir, ada berita meninggalnya junior di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta, awal Mei 2024 lalu, diduga karena dianiaya seniornya.

Tapi, perundungan di lingkungan perguruan tinggi elit, yakni pada Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS), rasanya tak banyak diketahui publik.

Makanya, Menkes merasa hal ini tak bisa didiamkan saja. Akhirnya, beberapa Minggu yang lalu, media massa banyak yang memberitakan praktik perundungan di PPDS sejumlah universitas.

Seorang mahasiswa peserta PPDS di salah satu perguruan tinggi swasta, yang ikut jadi penanya di acara talk show itu, mengaku tidak mengalami perundungan. 

Pak Menteri menanggapi bahwa si mahasiswa itu beruntung, karena dari yang beliau ketahui, praktik perundungan dari para senior terhadap mahasiswa baru yang ikut PPDS sudah biasa terjadi.

Contoh tindakan yang diminta senior terhadap juniornya yang disampaikan Menkes, antara lain mengurus laundry senior, membelikan bensin untuk mobil senior, dan urunan untuk membeli makanan untuk senior.

Ada pula junior yang mengumpulkan uang untuk membayar sewa lapangan tenis yang akan digunakan senior-seniornya. Kalau ini dianggap sebagai ujian mental, tentu kurang tepat.

Oleh karena itu, Menkes meminta hal ini harus dihentikan agar tidak turun temurun atau agar terputus mata rantainya.

Yang disampaikan Menkes belum separah contoh yang saya dengar. Ada seorang dokter umum alumni FK PTN di sebuah ibukota provinsi di Sumatera yang tak ingin masuk PPDS.

Ia merasa sayang membuang banyak uang di luar biaya resmi. Uang dimaksud adalah untuk memenuhi permintaan senior.

Katanya, dari pengalaman kakak angkatannya di kedokteran umum dan melanjutkan ke spesialis, ada senior yang mau ke Jakarta minta tiket pesawat pulang pergi. 

Ada senior yang minta dibelikan laptop. Jelas harganya lebih mahal dibandingkan membeli makanan atau biaya foto kopi untuk kepentingan senior.

Di lingkungan keluarga besar saya, yang mencakup juga saudara sepupu dan keponakan, sudah ada beberapa orang yang berprofesi sebagai dokter.

Nah, ketika di media massa, khususnya di Koran Kompas, ramai mengupas soal depresi yang dialami sebagian calon dokter spesialis, saya sama sekali tidak kaget.

Kebetulan, adik saya seorang dokter spesialis penyakit dalam dan berlanjut lagi dengan menyelesaikan subspesialis hematologi onkologi medik.

Pengalaman adik saya yang mengambil program spesialis sekitar 21 tahun yang lalu (dan subspesialis 15 tahun lalu), tidak terdengar keluhannya yang terkait dengan perundungan.

Mungkin tidak ada atau ia tak mau menceritakan, atau memang ketika itu perundungan belum sebanyak beberapa tahun terakhir ini.

Namun, ada 2 orang keponakan saya yang mengkuti PPDS (yang satu baru selesai, satu lagi baru 1 tahun ikut program), membuat saya meyakini kebenaran pernyataan Menkes.

Dari keluhan keponakan itu, ia mohon didoakan agar kuat bertahan di tahun pertama. Pada tahun kedua, karena sudah ada adik angkatannya, ia tak lagi kena perundungan.

Intinya, senior lazim saja menyuruh peserta PPDS mengerjakan hal yang tak berkaitan kegiatan perkuliahan, sehingga menimbulkan kerugian uang, tenaga, waktu, dan munculnya tekanan mental.

Ada perbedaan antara perundungan di Sekolah Kedinasan dengan yang di kedokteran spesialis. Dari sisi siksaan fisik, di sekolah kedinasan sangat kentara, hingga menimbulkan korban jiwa.

Pada PPDS, kerugian materi lebih menonjol, mungkin dianggap para pesertanya dari kalangan orang berpunya semua. Padahal, ada yang karena dapat bantuan Pemda seperti pengalaman adik saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun