Ini kisah dari sebuah perusahaan yang bergerak di bidang keuangan. Seperti pada tahun sebelumnya, tahun ini perusahaan juga memberikan bingkisan lebaran bagi para pelanggan utama.
Yang disebut pelanggan utama adalah nasabah setia yang punya saldo simpanan melampaui batas minimal tertentu yang ditetapkan oleh manajemen perusahaan.
Cara seperti di atas lazim dilakukan oleh banyak perusahaan. Ini sebagai bagian dari program promosi dalam rangka mempertahankan pelanggan utama.Â
Dengan asumsi proyek pembagian hampers lebaran dilakukan sesuai dengan standar prosedur yang baik, tentu tidak ada masalah apa-apa.
Tapi, di zaman dulu, ketika korupsi menjadi hal yang sama-sama dimaklumi oleh pihak terkait, pemberian hadiah kepada pelanggan seperti di atas, bisa juga diboncengi hal yang tidak sepatutnya.
Misalnya, anggaran dari kantor pusat perusahaan tersebut untuk pengadaan hampers sebesar Rp 500.000 per pelanggan.
Maka, oleh kantor cabang yang nakal akan mencari rekanan yang mau dibayar Rp 400.000 per pelanggan, tapi di kuitansi ditulis Rp 500.000 per pelanggan.
Ya, betul, modus di atas disebut dengan mark-up. Vendor yang terpilih jelas tidak mau rugi, bahkan akan ikut bermain untuk keuntungannya.
Jadi, vendor yang mengelola pembuatan dan pengiriman hampers lebaran sebetulnya hanya mengirim bingkisan seharga Rp 250.000 per pelanggan.
Adapun bagi penerima hampers lebaran, tentu mereka senang saja mendapat hadiah. Mereka tidak peduli kalau oknum perusahaan dan vendor sama-sama berpesta dengan mengatasnamakan pelanggan.