Saya menghabiskan masa kecil dan remaja sepanjang dekade 1970-an di Payakumbuh, sebuah kota yang terletak 125 kilometer sebelah utara Kota Padang, Sumatera Barat.
Pada era tersebut, belum muncul budaya membeli makanan dan membeli kue jadi untuk berlebaran. Bukan saja karena sedikit yang menjual, kondisi ekonomi juga belum kondusif untuk membeli.
Makanya, pada sepuluh hari terakhir di bulan puasa, di banyak rumah, termasuk rumah orang tua saya, ibu-ibu sibuk memasak dibantu anak-anak perempuannya.
Berdasarkan ingatan saya, makanan yang disiapkan tersebut dapat dikelompokkan pada 2 bagian besar, yakni kelompok kue kering yang ditaruh di ruang tamu dan kelompok hidangan di meja makan.
Kue sapik adalah kue kesukaan saya, yang bentuknya seperti terlihat pada foto di atas. Kue ini berbahan tepung beras dan santan kental.
Kue dari tepung beras bukan hanya kue sapik. Ada juga kue berbentuk daun beraroma jeruk purut atau kayu manis.Â
Cara pembuatannya dengan dipanggang di atas tungku yang dialasi dengan seng dan dibagian atasnya bara api. Ya, itulah "oven" zaman dulu.
Kembang goyang dan sagun bakar adalah nama kue lainnya yang sering dibuat ibu saya di hari raya era 1970-an. Juga kue berbahan kacang seperti kacang tojin dan kacang gula.
Sekarang ini, semua kue di atas mulai langka di Sumbar, kalah sama kue nastar, putri salju, cookies coklat, dan kue-kue lebaran lainnya yang iklannya di media sosial sangat gencar.
Kue-kue lebaran zaman sekarang relatif sama saja di banyak rumah yang saya datangi, karena sama-sama dibeli dari supermarket atau toko kue.Â
Ada juga yang memesan kue kepada pembuat kue yang bergerilya datang ke kantor-kantor, tapi itupun jenis kuenya sama dengan yang dijual di toko kue dan supermarket.
Dari membahas kue, kita lanjutkan ke soal lauk untuk makan ketupat atau nasi. Tapi, di era jadul, di Sumbar belum lazim tersedia ketupat di saat lebaran.
Untuk lauk yang dihidangkan di meja makan, yang dulu "wajib" tersedia adalah rendang daging sapi. Kalau versi ibu saya, rendangnya dicampur dengan kacang merah.Â
Ada juga dendeng ragi (pakai kelapa parut) dan itiak lado ijau (bebek cabe hijau) yang rutin dimasak ibu saya setiap mau lebaran.
Karena dulu belum ada kulkas, atau mungkin ada orang yang punya tapi orang tua saya belum punya, setiap pagi dan malam ibu saya memanaskan makanan.
Sekarang, lebaran di Sumbar sudah meniru gaya lebaran orang Jakarta, yakni membuat ketupat opor ayam. Tapi, rendangnya tetap ada. Rendang enak juga dimakan dengan ketupat.
Untuk gulai ayam dan rendang, di Sumbar saat ini masih cukup banyak ibu-ibu yang memasak sendiri. Artinya, ibu-ibu masih tetap sibuk memasak, meskipun tidak lagi membuat kue.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H