Berhembus  angin malam
Mencengkam, menghempas, membelai wajah ayu
Itulah kenangan yang terakhir denganmu
Kudekati dirimu, kau diam
Tersungging senyuman di bibirmu
Itulah senyuman yang terakhir darimu
Diiring gemuruh angin, meniup daun-daun
Alam yang jadi saksi, kau serahkan jiwa raga
Angin tetap berhembus, tak henti, walaupun sampai akhir hayatku
Oh angin malam bawa daku kepadanya
Diiring gemuruh angin, meniup daun-daun
Alam yang jadi saksi, kau serahkan jiwa raga
Angin tetap berhembus, tak henti, walaupun sampai akhir hayatku
Tapi tak lagi kau berada di sisiku
Oh angin malam bawa daku kepadanya
Anda masih mengingat dengan baik lagu di atas? Kalau ingat, saya sudah bisa menerka usia Anda. Jangan takut, saya tidak akan mengatakan Anda sebagai lansia.
Tapi, perkenankan saya menyebut Anda sebagai orang yang sudah matang dan berpengalaman sekali, kenyang dengan asam garam kehidupan.
Ya, lagu yang sangat romantis dan sentimentil itu dirilis pada tahun 1969 dan langsung melambungkan nama penyanyi yang melantunkannya, Broery Marantika.
Lagu tersebut menjadi tembang solo hit pertama dari penyanyi kelahiran Ambon, Maluku, 25 Juni 1942 itu.
Broery yang pernah mengganti namanya dengan Broery Pesulima (sesuai dengan nama fam/keluarganya), kemudian tercatat sebagai salah satu penyanyi dengan nama besar di Indonesia.
Broery meninggal dunia pada tanggal 7 April 2000 di Rumah Sakit Puri Cinere, Kota Depok, Jawa Barat, setelah menjalani perawatan karena penyakit stroke yang dideritanya.
Kembali ke lagu Angin Malam, lagu ini diciptakan oleh komponis ternama pada masanya (dekade 1970-an), yakni A. Riyanto (1943-1994).
Banyak sekali lagu pop Indonesia ciptaan A. Riyanto yang menjadi hits yang dibawakan oleh sejumlah penyanyi papan atas nasional era 70-an.
Beberapa hits ciptaan A. Riyanto selain Angin Malam, adalah lagu Mawar Berduri, Sepanjang Jalan Kenangan, Layu Sebelum Berkembang, dan sebagainya.
Dari judul lagunya saja, sudah tercium aroma puitis A. Riyanto. Hanya, untuk lagu Angin Malam di atas, jika boleh diinterpretasikan, ada sisi romantisme yang agak kebablasan.
Perhatikan kembali lirik di atas, khususnya pada kalimat "alam yang jadi saksi, kau serahkan jiwa raga".
Dengan asumsi hal itu mengisahkan pertemuan antara seorang pria dan pacarnya, maka penyerahan jiwa raga sebagai ungkapan cinta, dipandang dari budaya dan agama, jelas kebablasan.
Tapi, ini hanya interpretasi yang mungkin saja keliru, atau terbuka untuk ditafsirkan secara lain.Â
Yang ingin diingatkan melalui tulisan ini, meskipun pergaulan anak muda semakin bebas, hubungan seks harusnya dilakukan setelah ada ikatan pernikahan yang sah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H