Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Beras Mahal, Dilema Penjual Nasi dan Jeritan Ibu Rumah Tangga

24 Februari 2024   05:40 Diperbarui: 24 Februari 2024   05:44 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang pemilik warung makan di pinggir jalan di kawasan Jakarta Utara terpaksa mengambil langkah yang tidak populer demi menyelamatkan usahanya.

Latar belakangnya, sudah sama-sama kita ketahui, yakni dalam beberapa hari terakhir ini cukup banyak berita tentang harga beras naik lagi

Langkah yang ditempuh si pemilik warung adalah mengurangi porsi nasi untuk para pelanggannya, karena ia tak mau menaikkan harga. 

Namun, cara si pemilik warung menyiasati kenaikan harga tersebut, sebetulnya belum tentu tepat.

Jika pelanggannya kecewa karena merasa tidak kenyang dengan porsi sepiring nasi yang berkurang, bisa-bisa pelanggannya banyak yang pindah ke warung nasi lain.

Memang, tidak gampang mengambil keputusan bagi pemilik warung makan. Mempertahankan porsi makanan dengan menaikkan harga, juga ada risiko ditinggalkan pelanggan.

Kecuali, bila para pedagang nasi di suatu kawasan sama-sama kompak menaikkan harga, mungkin konsumen tak punya pilihan lain selain merogoh kocek lebih dalam.

Nah, tentu ada juga pelanggan yang tidak keberatan untuk mengurangi porsi makanan. Mereka adalah kelompok yang sedang berjuang untuk mengecilkan perutnya.

Mengecilkan perut tersebut bisa diartikan secara harfiah, yang dilakukan mereka yang punya perut buncit, sehingga secara kesehatan mengandung risiko munculnya penyakit.

Selain sering berolahraga, anjuran untuk mengecilkan perut adalah dengan mengurangi porsi makanan, khususnya yang tinggi karbohidrat seperti nasi.

Arti lain dari mengecilkan perut adalah dengan memaknainya secara kiasan, yakni sama dengan "mengencangkan ikat pinggang".

Maksudnya, dengan naiknya harga beras dan harga bahan sembako lainnya, perlu kiranya mengevaluasi gaya hidup keseharian kita masing-masing.

Bila selama ini cenderung boros dalam membeli makanan, seperti sering makan di restoran, atau dengan memesan makanan secara online, sekarang sebaiknya diubah.

Misalnya, dengan lebih sering memasak sendiri, jelas jauh lebih hemat. Masalahnya, tidak semua orang punya keahlian memasak. Atau, kalaupun pandai memasak, tak semuanya punya waktu.

Tapi, omong-omong (bukan omon-omon), ibu-ibu rumah tangga yang memasak sendiri pun sudah mulai menjerit (meskipun bukan menjerit histeris).

Ibu-ibu rumah tangga sangat terpukul dengan kenaikan harga beras. Lalu, apa langkah yang harus ditempuh ibu-ibu itu? Banyak di antaranya yang dilanda kebingungan.

Jika ibu-ibu memasak nasi dalam jumlah yang lebih sedikit dari biasanya, mereka tidak tega pada suami dan anak-anaknya.

Padahal, uang belanja dari suami tidak bertambah. Mau mengganti makanan dengan yang berbahan bukan nasi, ibu-ibu pun takut selera makan suaminya anjlok.

Sekarang betul-betul kondisinya sangat dilematis bagi ibu-ibu rumah tangga. Tak tahu bagaimana menyikapi kenaikan harga beras.

Memang, makanan pengganti beras seperti berbahan singkong, jagung, dan sagu, tidaklah semahal beras. Tapi, untuk perut yang kalau tak makan nasi belum terasa makan, mana tahan?

Untuk sementara ini, sebagian ibu-ibu selalu aktif memantau di mana lokasi pemerintah menjual beras murah. 

Lalu, mereka akan ramai-ramai menyerbu posko penjualan beras murah, meskipun antreannya cukup panjang di tengah panas terik. Bahkan, sering juga terjadi kericuhan karena antrean tidak tertib.

Tapi, kecemasan tetap menaungi para ibu rumah tangga itu. Mereka tidak yakin akan ada terus aksi penjualan beras murah.

Mengharapkan harga beras di pasar akan turun, juga sulit terwujud, apalagi momennya sudah mau masuk bulan puasa dan setelah itu lebaran.

Haruskah jeritan ibu-ibu itu dibiarkan berlalu diterbangkan angin?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun