Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Internet Masuk Desa dan Kisah Sukses Kampung Marketer

20 Februari 2024   06:03 Diperbarui: 20 Februari 2024   06:17 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Internet masuk desa sebetulnya sudah berhasil terwujud sejak beberapa tahun terakhir ini. Masalahnya sekarang adalah soal pemerataan akses internet.

Desa-desa yang berkategori terpencil, yang tidak dilalui oleh jalan negara atau jalan provinsi dan jauh dari kota kabupaten, masih banyak blank spot-nya.

Di desa-desa yang bukan terpencil bukannya tidak ada masalah, karena kecepatan internet bisa menjadi penghalang dalam kelancaran berkomunikasi atau bertransaksi.

Makanya, ketiga pasangan capres-cawapres yang bertarung di Pemilu 14 Februari 2024 yang lalu, sama-sama sependapat tentang perlunya internet cepat bagi masyarakat, termasuk di desa.

Dengan kemudahan berinternet, potensi desa bisa dikembangkan menjadi suatu aksi nyata yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan warga desa.

Namun demikian, banyak pula para sesepuh warga desa yang merasa khawatir bila akses internet di desa-desa semakin gampang dan semakin cepat.

Dampak negatif internet menjadi sumber kekhawatiran. Anak muda jadi pemalas bekerja dan malah asyik mencari hiburan di berbagai aplikasi media sosial.

Aksi pornografi, aksi kriminal, dan ketagihan narkoba, sering disangkutpautkan sebagai dampak negatif dari konten yang ditonton di gawai berkat adanya jaringan internet.

Jelaslah, kemajuan teknologi informasi yang didukung jaringan internet ibarat pisau bermata dua, bisa dipakai untuk hal-hal yang positif sekaligus bisa pula untuk hal-hal negatif.

Tapi, satu hal yang pasti, kemajuan zaman merupakan sesuatu yang tak terhindarkan. Tak bisa lain, internet merupakan kebutuhan bagi masyarakat.

Tinggal lagi bagaimana caranya agar semua elemen masyarakat tak henti-hentinya saling mengingatkan, agar anak-anak kita menjadikan fasilitas internet untuk sarana belajar dan berkreasi.

Nah, ada satu contoh bagus, bagaimana kisah sukses sebuah desa di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, dalam "merevolusi" kehidupan masyarakat di desa itu.

Nama desa tersebut adalah Tunjungmuli dan berada di Kecamatan Karangmoncol. Desa ini sekarang dijuluki sebagai Kampung Marketer.

Kelahiran Kampung Marketer tak bisa dilepaskan dari usaha gigih Nofi Bayu Darmawan, seorang yang bagus kariernya di Kementerian Keuangan, tapi kemudian minta pensiun muda.

Langkah Nofi untuk resign di kementerian yang tunjangannya jauh lebih tinggi dari kementerian lainnya itu, betul-betul sebuah spekulasi yang menurut teman-temannya tidak logis.

Betapa tidak, Nofi yang alumni Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) itu, pada tahun 2017 memilih pulang kampung ke Purbalingga demi mengajak warga desa berbisnis secara online.

Tantangan pertama yang dihadapi Nofi adalah jaringan internet di desa yang terletak di kaki Gunung Slamet itu dalam kondisi yang sangat tidak memadai.

Nofi sampai-sampai bekerja sama dengan provider lokal untuk membangun tower pemancar sinyal. Untunglah kemudian provider pelat merah membuka jaringan di sana.

Tantangan kedua yang harus dihadapi Nofi adalah susahnya menjelaskan pemikirannya ke warga desa yang akan diajak bekerja sama, karena tingkat pendidikan mereka yang relatif rendah.

Butuh waktu sekitar 3 tahun hingga pada tahun 2020 mulai banyak ibu-ibu rumah tangga di desa Tunjungmuli yang berhasil sebagai pemasar digital di dunia maya.

Dengan berbekal ponsel pintar, ibu-ibu yang rata-rata tamat SMA itu lincah memainkan ponselnya untuk berniaga di pasar digital.

Mereka jadi perantara antara konsumen dan produsen. Ada 241 pelaku UMKM dan pemilik toko online di berbagai kota yang bermitra dengan warga desa Tunjungmuli (Kompas.com, 20/08/2021).

Maka, keuntungan jutaan rupiah bisa diraih setiap ibu-ibu yang aktif di kampung marketer itu per bulannya. Mereka yang aktif tersebut berjumlah 509 orang, termasuk di desa tetangganya.

Kelihatannya tugas ibu-ibu itu mudah, hanya sekadar "chatting" di aplikasi media sosial dengan calon pembeli produk yang ditawarkan mitra bisnis. 

Tapi, sebetulnya tugas itu butuh kemampuan tersendiri. Makanya, mereka dilatih terlebih dahulu oleh manajemen yang dipimpin Nofi, sebelum dipertemukan dengan calon mitra.

Seorang ibu yang pernah jadi TKI di Singapura merasa beruntung. Sekarang penghasilannya rata-rata Rp 3 juta per bulan, lebih tinggi dari gaji di Singapura yang Rp 2,5 juta.

Adapun jumlah Rp 3 juta itu didapat dari gaji pokok yang diberikan pihak manajemen "Komerce" yang dibangun Nofi Bayu Darmawan dan ditambah bonus untuk setiap barang yang terjual.

Jelaslah, program internet masuk desa sangat dibutuhkan, karena bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Semoga akan muncul kampung marketer lainnya di berbagai penjuru nusantara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun