Meski baby shaming kerap dibalut dengan gaya bahasa bercanda, namun sangat mungkin akan meninggalkan luka di hati sang ibu dan ayah si bayi.
Komentar-komentar seperti: “Kak jidat anaknya lebar, kak hidung si dedek dipencet-pencet dong biar mancung, Arrasya kurang gembul, masih kurus keliatannya,” jelas membuat Tasya kesal.
Meski sempat geram dan mengungkapkannya lewat sebuah postingan instagram, Tasya mengaku tidak ambil pusing.
Dukungan suami dan keluarganya membuat Tasya mampu menghadapi berbagai komentar baby shaming yang ditujukan pada anaknya, tanpa harus terpuruk secara mental.
Namun, Tasya mengaku khawatir jika hal yang dialaminya juga terjadi pada ibu lain yang kurang mendapat support system sepertinya.
Jelaslah, ketika kita melihat bayi, meskipun gatal ingin berkomentar, coba timbang-timbang dulu sebelum komentar itu dilontarkan. Komentar tersebut jangan bernada baby shaming.
Berkomentar di dunia nyata dan di dunia maya, sama saja dampaknya. Jika komentar itu menyakitkan, akan membuat kesal pihak yang dikomentari.
Bahkan, komentar di media sosial punya dampak lebih besar, mengingat yang nimbrung jumlahnya jauh lebih banyak.
Kalau kita berada di pihak yang terkena baby shaming, beberapa tips berikut ini perlu dilakukan agar tidak menjadi beban mental.
Pertama, mencari dukungan dari support system, misalnya kepada suami, orang tua, saudara, kerabat, dan sahabat akrab.
Kedua, jangan memberi respon atas komentar negatif tersebut. Layangkan saja senyuman tanpa membalas komentar.