Sebetulnya saya mulai merasa nyaman naik transportasi massal di Jakarta dan sekitarnya, terutama di luar jam-jam yang sangat padat, yakni saat banyak orang berangkat dan pulang kerja.
Bus Transjakarta (sering disebut busway, padahal busway adalah penyebutan untuk jalurnya), Kereta Rel Listirik (KRL), Mass Rapid Transit (MRT), dan Light Rail Transit (LRT), semuanya oke.
Sebagai seorang yang sudah menjadi warga DKI Jakarta sejak tahun 1986, saya sudah merasakan betapa tersiksanya naik Metro Mini, Kopaja, atau KRL di era 1980-an dan 1990-an.
Sangat jelas, menggunakan transportasi publik yang bersifat massal di era sekarang, dengan kendaraan yang semuanya berpendingin udara, terasa nyaman.
Namun demikian, seiring dengan pertambahan usia saya, saya juga relatif sering menggunakan transportasi publik yang bukan massal seperti taksi.
Kelebihan naik taksi bagi saya adalah menghemat tenaga, karena kalau naik transportasi massal perlu jalan kaki ke halte atau stasiun terdekat.
Sedangkan kelemahan taksi tentu biayanya mahal. Apalagi, dalam kondisi jalanan yang macet parah, busway dan KRL melaju tanpa hambatan, taksi malah terperangkap macet.
Akibatnya, tarif yang saya harus bayar akan jauh lebih mahal. Soalnya, dalam kondisi taksi tidak bergerak atau berjalan sangat pelan, argometernya tetap berjalan.
Ada satu lagi kebiasaan saya yang mempersulit saya naik taksi dalam beberapa tahun terakhir ini. Kebiasaan banyak orang sekarang adalah memesan taksi secara online.
Taksi yang dipesan bisa taksi yang beroperasi secara reguler (saya sebut sebagai taksi konvensional), bisa juga taksi online yang kendaraannya milik pribadi-pribadi.
Saya sendiri karena agak gaptek merasa lebih nyaman seperti dulu, ketika taksi konvensional banyak bersliweran di jalan dan calon penumpang tinggal memberi kode stop saja.
Karena taksi konvensional kalah bersaing dengan taksi online, maka pengemudinya tak banyak yang mencari penumpang di jalanan, mereka lebih suka menunggu order via gawai mereka.
Untunglah, di beberapa tempat, misalnya di mal, di hotel, atau di pinggir taman kota, biasanya ada saja pengemudi taksi yang mangkal sambil menunggu order.
Taksi yang mangkal itu, bila belum menerima order, bisa saja diminta melayani penumpang seperti saya yang naik taksi tanpa menggunakan aplikasi.
Nah, yang membuat saya agak kaget, adakalanya tarif taksi tiba-tiba naik, tanpa ada sosialisasi. Maksudnya, tidak ada berita di media massa atau media daring terkait kenaikan tarif ini.
Kalau tidak keliru, dalam 2 tahun terakhir ini taksi berwarna biru yang sangat terkenal di Jakarta, telah beberapa kali menaikkan tarif.
Seingat saya, sekitar 2 tahun lalu, tarif buka pintunya masih 6.500, kemudian naik jadi Rp 7.000, naik lagi jadi Rp. 8.000, dan lagi-lagi naik ke Rp 8.500.Â
Pada hari Selasa (13/2/2024), saya naik taksi biru itu dari depan sebuah kantor bank di Kawasan Semanggi ke Tebet Timur.
Awalnya saya tidak begitu memperhatikan, tapi kemudian mata saya menatap argometer, dan ternyata sekarang tarif buka pintu sudah Rp 9.000.
Tarif per 100 meternya pada 2 tahun lalu sepanjang ingatan saya Rp 410 (Rp 4.100 per kilometer), kemudian naik ke Rp 500, naik lagi ke Rp 540, lalu terakhir saya naik taksi itu sudah Rp 600.
Setahu saya, tarif takasi ada regulasinya dari pihak pemerintah. Memang, tarifnya tidak sama antar perusahaan taksi, karena ada batas atas dan batas bawah (mirip regulasi tarif pesawat terbang).
Masalahnya, karena hantaman persaingan, taksi biru yang saya sebut di atas di jalanan ibu kota seperti menjadi satu-satunya perusahaan taksi konvensional yang masih eksis.
Apakah karena posisinya yang seakan-akan memonopoli pasar, membuat taksi biru lebih leluasa menaikkan tarif?Â
Atau, mungkin juga hanya semata-mata sebagai respon atas kenaikan harga bahan bakar yang memang lumayan sering terjadi.
Barangkali sosialisasi dari pihak manajemen perusahaan taksi terkait tarif menjadi penting agar pelanggannya tidak terkaget-kaget.
Memang, masih ada beberapa taksi konvensional lain, namun hanya beroperasi di bandara, baik Bandara Soekarno-Hatta maupun Bandara Halim Perdanakusuma.
Terakhir, saya naik taksi dari bandara pada hari Selasa (6/2/2024), dan karena antrean taksi biru lumayan panjang, saya memilih taksi "G" (dulunya masuk grup taksi biru yang kemudian berpisah).
Untungnya, tarif buka pintu taksi G masih Rp 8.000 ditambah Rp 5.000 per kilomter. Di Bandara Halim ada taksi milik yayasan Angkatan Udara, tarif buka pintunya Rp 7.000.
Begitulah kondisi pertaksian konvensional di Jakarta sekarang ini. Bagi yang sudah familiar dengan taksi yang dipesan melalui aplikasi, mungkin jatuhnya lebih murah.
Tapi, pada jam-jam sibuk, tarif taksi online pun relatif mahal. Ya, sebelas-dua belas dengan tarif taksi konvensional.
Kesimpulannya, naik transportasi massal sebaiknya menjadi prioritas. Jika dalam kondisi tertentu memilih naik taksi, hitung dahulu perkiraan tarif yang harus dibayar, agar tidak kaget.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI