Masalahnya, karena hantaman persaingan, taksi biru yang saya sebut di atas di jalanan ibu kota seperti menjadi satu-satunya perusahaan taksi konvensional yang masih eksis.
Apakah karena posisinya yang seakan-akan memonopoli pasar, membuat taksi biru lebih leluasa menaikkan tarif?Â
Atau, mungkin juga hanya semata-mata sebagai respon atas kenaikan harga bahan bakar yang memang lumayan sering terjadi.
Barangkali sosialisasi dari pihak manajemen perusahaan taksi terkait tarif menjadi penting agar pelanggannya tidak terkaget-kaget.
Memang, masih ada beberapa taksi konvensional lain, namun hanya beroperasi di bandara, baik Bandara Soekarno-Hatta maupun Bandara Halim Perdanakusuma.
Terakhir, saya naik taksi dari bandara pada hari Selasa (6/2/2024), dan karena antrean taksi biru lumayan panjang, saya memilih taksi "G" (dulunya masuk grup taksi biru yang kemudian berpisah).
Untungnya, tarif buka pintu taksi G masih Rp 8.000 ditambah Rp 5.000 per kilomter. Di Bandara Halim ada taksi milik yayasan Angkatan Udara, tarif buka pintunya Rp 7.000.
Begitulah kondisi pertaksian konvensional di Jakarta sekarang ini. Bagi yang sudah familiar dengan taksi yang dipesan melalui aplikasi, mungkin jatuhnya lebih murah.
Tapi, pada jam-jam sibuk, tarif taksi online pun relatif mahal. Ya, sebelas-dua belas dengan tarif taksi konvensional.
Kesimpulannya, naik transportasi massal sebaiknya menjadi prioritas. Jika dalam kondisi tertentu memilih naik taksi, hitung dahulu perkiraan tarif yang harus dibayar, agar tidak kaget.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H