Saya sendiri karena agak gaptek merasa lebih nyaman seperti dulu, ketika taksi konvensional banyak bersliweran di jalan dan calon penumpang tinggal memberi kode stop saja.
Karena taksi konvensional kalah bersaing dengan taksi online, maka pengemudinya tak banyak yang mencari penumpang di jalanan, mereka lebih suka menunggu order via gawai mereka.
Untunglah, di beberapa tempat, misalnya di mal, di hotel, atau di pinggir taman kota, biasanya ada saja pengemudi taksi yang mangkal sambil menunggu order.
Taksi yang mangkal itu, bila belum menerima order, bisa saja diminta melayani penumpang seperti saya yang naik taksi tanpa menggunakan aplikasi.
Nah, yang membuat saya agak kaget, adakalanya tarif taksi tiba-tiba naik, tanpa ada sosialisasi. Maksudnya, tidak ada berita di media massa atau media daring terkait kenaikan tarif ini.
Kalau tidak keliru, dalam 2 tahun terakhir ini taksi berwarna biru yang sangat terkenal di Jakarta, telah beberapa kali menaikkan tarif.
Seingat saya, sekitar 2 tahun lalu, tarif buka pintunya masih 6.500, kemudian naik jadi Rp 7.000, naik lagi jadi Rp. 8.000, dan lagi-lagi naik ke Rp 8.500.Â
Pada hari Selasa (13/2/2024), saya naik taksi biru itu dari depan sebuah kantor bank di Kawasan Semanggi ke Tebet Timur.
Awalnya saya tidak begitu memperhatikan, tapi kemudian mata saya menatap argometer, dan ternyata sekarang tarif buka pintu sudah Rp 9.000.
Tarif per 100 meternya pada 2 tahun lalu sepanjang ingatan saya Rp 410 (Rp 4.100 per kilometer), kemudian naik ke Rp 500, naik lagi ke Rp 540, lalu terakhir saya naik taksi itu sudah Rp 600.
Setahu saya, tarif takasi ada regulasinya dari pihak pemerintah. Memang, tarifnya tidak sama antar perusahaan taksi, karena ada batas atas dan batas bawah (mirip regulasi tarif pesawat terbang).