Iseng-iseng coba lihat daftar calon legislatif (caleg) untuk DPR RI. Ternyata, yang terdaftar di berbagai daerah pemilihan (dapil) yang tersebar dari Aceh hingga Papua, banyak yang berdomisili di Jakarta.
Benar saja, coba baca data yang diungkap Harian Kompas (1/2/2024), di bawah judul; "Ribuan Caleg Asal Jakarta Mewakili Daerah Pemilihan Lain".
Disebutkan bahwa 60 persen caleg DPR minim kedekatan dengan dapilnya, sehingga menimbulkan kekhawatiran, bagaimana nasib daerah yang kelak mereka wakili.
Kompas punya parameter untuk mengukur kedekatan caleg dengan dapilnya. Caleg yang tidak lahir di dapilnya, tidak pernah sekolah di dapilnya dan tidak berdomisili di dapilnya, dinilai tidak dekat.
Kebanyakan caleg yang tidak dekat dengan dapilnya ber-KTP DKI Jakarta dan kota-kota di sekitar Jakarta (Depok, Bekasi, dan Tangerang).
Sebetulnya, fenomena di atas dapat dimengerti, mengingat Jakarta merupakan kota yang paling banyak dihuni para perantau.
Misalkan ada warga Jakarta yang berdarah Minang, yang merasa bakal menang kalau mencalonkan diri di salah satu dapil di Sumbar.
Bahwa caleg tersebut tidak lahir dan tidak pernah sekolah di Sumbar, tidak jadi masalah, jika misalnya setahun sekali ia masih sempat pulang kampung.
Demikian juga dengan warga Jakarta berdarah Bugis, mungkin lebih percaya diri bila menjadi caleg di salah satu dapil di Sulsel.
Rasa optimis caleg asal Jakarta untuk bertarung di daerah, bisa terbentuk kalau setiap pulang kampung ia rajin bertukar pikiran dengan banyak orang.
Apalagi di era media sosial sekarang ini, tanpa pulang kampung pun, bisa berkomunikasi dengan masyarakat di daerah lain dengan mudah.
Harus diakui, hubungan baik para perantau dengan kampung halamannya, Â merupakan sesuatu yang positif bagi kedua belah pihak.
Masyarakat di kampung merasa beruntung karena para perantau lazimnya banyak memberikan bantuan untuk kemajuan kampungnya.
Di lain pihak, nama perantau sukses akan harum di kampung halaman. Inilah yang menjadi modal untuk keterpilihannya dalam pemilu legislatif.
Bahkan, ada yang memilih bertarung di dapil yang bukan kampung halamannya, yang tidak ada jejak masa lalunya atau masa lalu orang tuanya di dapil tersebut.
Tapi, sepanjang punya cara kampanye yang jitu agar berhasil merebut hati masyarakat di dapilnya, ya mungkin masih ada harapan untuk terpilih.
Cara kampanye yang jitu tersebut harus sesuai aturan, jangan sampai melakukan politik uang yang bisa menggoyahkan sendi demokrasi.
Namun, tetap saja harus diwaspadai adanya kelemahan yang sudah di depan mata, yakni anggota legislatif kurang menangkap aspirasi warga di daerah yang diwakilinya.
Hanya saja, dilihat dari sisi para caleg, fenomena di atas merupakan hal yang wajar dan telah berlangsung sejak beberapa kali pemilu.
Jakarta adalah gudangnya tokoh-tokoh nasional, baik dari kalangan politisi murni, maupun selebriti yang banting setir jadi politisi.
Nah, jika semuanya bertarung di dapil Jakarta, tentu saja peluang terpilihnya kecil. Sehingga, ekspansi ke daerah dianggap pilihan yang tepat.
Kita harapkan agar pemilu mendatang bisa berlangsung dengan lancar dan memenuhi semua ketentuan dalam penyelenggaraan pemilu.
Silakan masyarakat mencermati rekam jejak para caleg untuk menentukan pilihan kepada salah satu yang dinilai paling baik.
Kepada caleg yang nantinya terpilih yang bukan berdomisili di dapilnya agar mampu belajar secara cepat menangkap apa aspirasi masyarakat yang diwakilinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H