Khusus yang kelima ini, untuk warga DKI Jakarta tidak ada, karena DPRD-nya hanya sampai level provinsi saja.
Jadi, para pemilih jangan sampai bingung, kok banyak sekali kertas suara yang harus dicoblos. Membuka dan melipat kembali saja mungkin ribet.
Bahkan, para pemilih muda yang baru pertama kali ikut pemilu, bisa jadi belum paham beda masing-masing surat suara serta apa manfaatnya.
Soalnya, yang tersosialisasikan selama ini lebih banyak tentang pemilihan presiden. Makanya, masyarakat lebih memperhatikan soal siapa capres-cawapres yang akan dipilihnya.
Apalagi, kehebohan kampanye capres-cawapres sangat terasa, baik di ruang publik, debat televisi, maupun sahut-sahutan di media sosial.
Sedangkan kampanye caleg, memang ada yang peduli? Padahal tak kalah penting, karena anggota legislatif menjadi penyalur aspirasi masyarakat di level daerah dan level nasional.
Tidak hanya perlu mengenal siapa caleg yang akan dipilih, perlu juga untuk mengetahui visi dan misi masing-masing partai, mana yang dirasa cocok dengan pemikiran pemilih.
Lalu, dari sisi caleg, kondisi yang kurang dikenal masyarakat tersebut, menjadi pertanda agar mereka lebih aktif terjun ke bawah, katakanlah melakukan blusukan.
Jangan mengira bila telah menyebar baliho di banyak titik, lalu akan dikenal. Justru, banyak orang yang kesal dengan baliho yang dipasang tak beraturan, bahkan juga merusak lingkungan.
Banyak pula baliho caleg yang memasang foto bareng capres yang diusung partainya. Orang yang lewat justru lebih melihat ke wajah capres ketimbang ke wajah caleg.
Sebagian caleg untuk level kabupaten/kota memang cukup aktif berkampanye tatap muka. Mereka mengandalkan jalur pertemanan dan persaudaraan, selain melalui media sosial.