Ada kata-kata bijak yang kurang lebih seperti ini: "Orang yang pesimis melihat kesulitan dalam setiap kesempatan, orang optimis melihat peluang dalam setiap kesulitan".
Apakah kondisi yang dihadapi lebih dominan dilihat sebagai kesulitan atau malah sebagai kesempatan, itu semata-mata persoalan dari mana kita memandangnya.
Misalnya, seorang staf di sebuah bank yang berkantor di Jakarta Selatan per 1 Januari 2024 dimutasi ke Kantor Cabang Soe, sebuah kota kecil di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Nama kotanya sangat asing terdengar bagi orang-orang yang berasal dari luar NTT. Namun, jika dibuka peta NTT, jelas ada nama Soe, karena merupakan ibu kota Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Membayangkan jauhnya Soe saja, si staf sudah sakit kepala. Ia langsung curiga pada atasannya yang berniat "membuangnya" karena ada unsur dislike.
Memang, si atasan mengatakan agar staf tersebut punya bekal yang lebih banyak, sebaiknya terjun ke lapangan, dalam arti bertemu langsung dengan banyak nasabah.
Selama ini si staf bekerja di kantor pusat, tepatnya di Bagian Analisis Laporan Keuangan, Divisi Akuntansi. Artinya, pekerjaannya sangat spesifik dan tidak bertugas menghadapi nasabah.
Jika saja ia dipindahkan ke cabang dalam bentuk promosi jabatan, katakanlah menjadi manajer, ia masih bisa menerima tanpa curiga ke atasannya.
Tapi, karena sifatnya hanya mutasi biasa, di cabang pun ia tetap menjadi staf. Bedanya, tugasnya akan bersifat general karena menjadi semacam asisten bagi kepala cabang.
Jadi, kalau kepala cabang menugaskannya mencari nasabah, baik nasabah penyimpan dana, maupun nasabah peminjam, ia tentu perlu banyak bergaul dengan masyarakat setempat.
Syukurlah, setelah si staf mulai bertugas di Soe, pandangannya mulai berubah ke arah positif. Ia malah bersyukur, karena bisa menikmati keindahan alam NTT yang masih "perawan".
Tanpa diongkosi kantor, ia tentu mikir-mikir juga jika harus mengeluarkan dana sendiri yang relatif mahal untuk menikmati alam NTT.
Untungnya lagi, ia dimutasi saat masih lajang. Jika ia sudah punya istri dan anak, mungkin akan lebih berat.
Si staf ini bertekad untuk menimba pengalaman di lapangan, yang pasti bermanfaat kelak untuk pengembangan karier selanjutnya.
Contoh di atas adalah untuk soal kesempatan dan kesulitan di level individu.
Cara yang sama juga berlaku di level perusahaan, di mana pendekatan soal kesempatan dan kesulitan tersebut bisa dikupas berdasarkan teori manajemen.
Dalam ilmu manajemen stratejik, ada teori yang sudah tergolong usang tapi masih relevan hingga sekarang, yakni teori SWOT.
SWOT tersebut merupakan singkatan dari Strengths (kekuatan), Weaknesses (kelemahan), Opportunities (peluang) dan Threats (ancaman).
Jadi, dalam menyusun strategi, manajemen perusahaan harus mempertimbangkan keempat faktor di atas, di mana faktor S dan W merupakan kondisi internal, serta O dan T kondisi eksternal.
Nah, manajemen yang berpandangan positif, tak terlalu khawatir dengan ancaman. Misalnya, soal semakin banyaknya pesaing baru.
Justru, ancaman bisa pula dilihat sebagai peluang. Semakin ketat persaingan, artinya memicu peluang untuk melakukan inovasi, agar mampu bersaing.
Bahkan, sebuah kekeliruan yang bagi perusahaan lain bisa dianggap mendatangkan kesulitan, bisa dilihat sebagai suatu blessing in disguise (berkah terselubung, hikmah di balik musibah).
Itulah yang terjadi dalam sejarah penemuan post-it. Orang kantoran pasti sangat terbantu dengan adanya post-it, yakni notes atau catatan kecil.
Keistimewaan notes tersebut, lembarannya gampang ditempel di atas kertas atau papan, dan gampang pula dicabut tanpa meninggalkan bekas sama sekali.
Post-it lahir secara tak sengaja pada tahun 1974. Saat itu, perusahaan 3M Silver Spencer sedang melakukan pembuatan lem super kuat untuk konstruksi pesawat.
Karena ada kesalahan, lem tersebut jadi mudah dicabut tanpa meninggalkan bekas di objek tempelannya.
Kesalahan itu memunculkan ide bagi Arthur Fry dan Gheoff Nicholson, yakni manajer laboratorium 3M Silver Spencer untuk membuat apa yang kita kenal sebagai post-it.
Tapi, pada periode beberapa tahun pertama, post-it sama sekali tidak laku. Berkat kegigihan tim pemasarannya, termasuk dengan sampel gratis ke banyak kantor, akhirnya post it laris manis.
Bahkan di zaman serba online sekarang pun, post it tetap terpakai dengan ditempel di meja kerja, di laptop, dan sebagainya.
Maka, sekali lagi, kesulitan dan kekeliruan jangan dianggap sebagai penghambat, tapi lihatlah sebagai kesempatan untuk melaju lebih jauh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H