Sekitar jam 06.00 pagi, karena sudah terang, sejumlah awak kendaraan yang tertahan bekerjasama mengatur lalu lintas, dan alhamdulillah jalan sudah bisa dilewati.
Siangnya, sekitar pukul 13.30 kami sampai di Payakumbuh, setelah sebelumnya sarapan pagi di Lubuk Sikaping dan makan siang di Biaro, kota kecamatan antara Bukittinggi dan Payakumbuh.
Saya tertidur cukup lama di rumah kakak saya di Payakumbuh, namun malamnya masih sempat menikamti kuliner di sebuah kafe.Â
Payakumbuh terkenal sebagai kota kuliner malam, banyak penjual makanan, baik pedagang di pinggir jalan maupun di kafe dengan live music yang buka hingga subuh.
Nah, horor yang lebih mencemaskan terjadi besok paginya, Rabu (27/12/2023), sewaktu kami akan pulang ke Pekanbaru. Berita di media sosial demikian gencar tentang tanah amblas dan longsor.
Ada sekitar 30 titik longsor yang membuat banyak kendaraan dari Payakumbuh maupun dari Pekanbaru yang terperangkap sepanjang hari Selasa (26/12/2023).
Salah satu yang terperangkap adalah keponakan saya sendiri yang berangkat pagi Selasa dari Pekanbaru dan baru sampai tengah malam di Payakumbuh.
Aparat setempat menutup akses bagi pengendara yang akan memasuki area tersebut dan menyarankan untuk ke Pekanbaru dari Payakumbuh, harus memutar ke arah selatan.
Artinya, kami harus melewati Sijunjung, Kiliran Jao (di Sumbar) dan Teluk Kuantan (di Riau), dengan waktu tempuh 9 jam (bandingkan dengan 4 jam bila jalur biasa bisa dilewati).
Kami bersyukur, sewaktu sudah bersiap menempuh perjalanan ke Sijunjung, ada berita dari salah seorang pejabat setempat, jalan ke Pekanbaru sudah bisa dilalui dengan sistem buka tutup.