Kisah para pemain Persiraja Banda Aceh yang dalam pertandingan Liga 2 harus melakoni laga tandang ke markas klub Semen Padang, menarik untuk dicermati.
Kenapa menarik? Karena untuk menghemat ongkos tiket pesawat, para pemain terbang dari Banda Aceh ke Padang dengan transit di Malaysia.
Padahal, Banda Aceh dan Padang masih sama-sama di Pulau Sumatera dengan jarak sekitar 1.200 km. Dengan terbang via Malaysia jelas jarak tempuhnya bertambah jauh dan bertambah lama.
Tapi, justru rute tersebut lah yang paling efisien karena menghemat sekitar Rp 1,5 juta per orang atau total penghematan Rp 25 juta untuk 16 pemain Persiraja yang ikut ke Padang.
Ini memang masalah klasik dalam penerbangan domestik di tanah air, yakni penerbangan antar kota dalam satu pulau tidak tersedia, atau frekuensi penerbangannya sangat sedikit.
Tidak ada penerbangan langsung dari Banda Aceh ke Padang. Yang ada adalah rute Banda Aceh-Medan dan Medan-Padang. Namun, frekuensinya sangat terbatas.
Bahkan, untuk Medan-Padang hanya ada penerbangan sekali sehari yang langsung, dan beberapa penerbangan dengan transit di Batam.
Dan seperti diketahui, tarif penerbangan domestik, apalagi di saat mendekati libur natal dan tahun baru sekarang ini, sangatlah mahal.
Di lain pihak, barangkali tarif pesawat Banda Aceh-Kuala Lumpur (Malaysia) dan Kuala Lumpur-Padang masih bisa dengan tarif yang bersaing.
Fenomena di atas terasa sangat ironis. Pantas saja masyarakat di berbagai daerah di Sumatera lebih suka berwisata, juga berobat ke Malaysia, ketimbang ke kota atau daerah lain di negeri sendiri.
Bukan hanya warga Aceh yang susah ke Padang atau sebaliknya, kecuali bagi yang mau naik bus dengan waktu tempuh 2 hari.
Warga Padang yang ingin bertemu familinya yang tinggal di Palembang pun, jika memilih naik pesawat akan transit di Jakarta, tentu dengan harga tiket untuk 2 kali penerbangan.
Demikian pula penerbangan antar kota di Kalimantan, juga tidak banyak tersedia, sehingga terpaksa transit di Jakarta atau di Surabaya.
Sebetulnya, dulu pernah ada penerbangan reguler secara langsung Padang-Palembang dan Padang-Jambi. Namun, karena keterisian pesawat yang rendah, rute ini pun ditutup.
Di tengah mulai menggeliatnya industri jasa transportasi udara, setelah sekitar 3 tahun dihempaskan pandemi Covid-19, masalah konektivitas antar kota dalam satu pulau perlu bisa diatasi.
Di lain pihak, terkesan pemerintah semakin banyak membangun bandara baru atau merenovasi dan menghidupkan kembali bandara yang sudah lama mati suri.
Sebagai contoh, di Sumatera ada Bandara Depati Parbo di Sungai Penuh, Provinsi Jambi dan Bandara Silampari, Lubuk Linggau, Provinsi Sumatera Selatan.
Tujuannya tentu saja baik, yakni agar konektivitas antar daerah semakin baik. Sehingga, dalam pergerakan orang dan barang, terjadi pemangkasan waktu dan penghematan biaya.
Apalagi, bila dengan pembangunan bandara baru itu mampu membangkitkan industri pariwisata setempat, akan memunculkan sentra ekonomi baru yang menguntungkan masyarakat.
Sayangnya, minimnya penerbangan ke bandara-bandara baru itu, dikhawatirkan menjadi suatu kemubaziran karena kurang dimanfatkan.
Kesan kemubaziran bandara baru itu tidak hanya terjadi di luar Jawa, karena di Jawa sendiri sebagai pulau terpadat penduduknya juga terjadi.
Untuk itu, berbagai pihak terkait perlu duduk bersama untuk mendapatkan solusi terbaik, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN pengelola bandara, dan maskapai penerbangan.
Memperbanyak penerbangan perintis yang mengoperasikan pesawat berkapasitas kecil mungkin menjadi jawaban agar bandara yang sepi penumpang tetap bisa beroperasi secara reguler.
Semoga, perkembangan ke depan akan lebih cerah, di mana maskapai penerbangan dan masyarakat pengguna transportasi udara sama-sama merasa terbantu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H