Bukan hanya warga Aceh yang susah ke Padang atau sebaliknya, kecuali bagi yang mau naik bus dengan waktu tempuh 2 hari.
Warga Padang yang ingin bertemu familinya yang tinggal di Palembang pun, jika memilih naik pesawat akan transit di Jakarta, tentu dengan harga tiket untuk 2 kali penerbangan.
Demikian pula penerbangan antar kota di Kalimantan, juga tidak banyak tersedia, sehingga terpaksa transit di Jakarta atau di Surabaya.
Sebetulnya, dulu pernah ada penerbangan reguler secara langsung Padang-Palembang dan Padang-Jambi. Namun, karena keterisian pesawat yang rendah, rute ini pun ditutup.
Di tengah mulai menggeliatnya industri jasa transportasi udara, setelah sekitar 3 tahun dihempaskan pandemi Covid-19, masalah konektivitas antar kota dalam satu pulau perlu bisa diatasi.
Di lain pihak, terkesan pemerintah semakin banyak membangun bandara baru atau merenovasi dan menghidupkan kembali bandara yang sudah lama mati suri.
Sebagai contoh, di Sumatera ada Bandara Depati Parbo di Sungai Penuh, Provinsi Jambi dan Bandara Silampari, Lubuk Linggau, Provinsi Sumatera Selatan.
Tujuannya tentu saja baik, yakni agar konektivitas antar daerah semakin baik. Sehingga, dalam pergerakan orang dan barang, terjadi pemangkasan waktu dan penghematan biaya.
Apalagi, bila dengan pembangunan bandara baru itu mampu membangkitkan industri pariwisata setempat, akan memunculkan sentra ekonomi baru yang menguntungkan masyarakat.
Sayangnya, minimnya penerbangan ke bandara-bandara baru itu, dikhawatirkan menjadi suatu kemubaziran karena kurang dimanfatkan.
Kesan kemubaziran bandara baru itu tidak hanya terjadi di luar Jawa, karena di Jawa sendiri sebagai pulau terpadat penduduknya juga terjadi.