Jumlah korban demikian besar, menimbulkan pertanyaan tentang sistem operasional dan prosedur (SOP) untuk panduan bagi pendaki gunung Marapi selama ini.
Apakah petugas di pos jaga sudah dibekali dengan SOP yang telah disesuaikan dengan kondisi terkini?
Jika SOP-nya belum diperbarui, seharusnya diperbarui terlebih dahulu. Setelah itu, perlu pula disosialisasikan kepada para petugas agar mereka memahami.
Kemudian, instansi yang berwenang untuk mengawasi, perlu pula melakukan pengawasan secara mendadak untuk memastikan bahwa SOP itu telah berjalan dengan baik.
Dengan jatuhnya banyak korban, diperkirakan SOP-nya masih mengandung sejumlah kelemahan, terutama dalam memitigasi bencana terhadap pendaki gunung.Â
Artinya, tindakan yang bersifat preventif kurang berjalan. Ke depan, hal ini harus dibenahi, jika pendakian Gunung Marapi telah diperkenankan lagi.
Sejauh ini, para pejabat di Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menyatakan bahwa erupsi Marapi terjadi tiba-tiba dan sulit diprediksi.
Maka, kepada pendaki diminta untuk tidak memasuki area radius 3 kilometer dari puncak, karena dari erupsi-erupsi sebelumnya, dampaknya sejauh 3 kilometer tersebut.
Namun, diduga sangat sulit mengawasi pendaki apakah sudah memasuki area 3 kilometer itu atau belum. Apalagi, tujuan pendaki memang untuk mencapai puncak gunung.
Peralatan dan kemampuan petugas dari instansi yang berwenang untuk selalu memantau kondisi Gunung Marapi perlu dievaluasi segera.
Secara logika, erupsi tak ada yang terjadi tiba-tiba. Tapi, dengan keterbatasan fasilitas dan keahlian yang ada, musibah kemarin terkesan tiba-tiba karena tidak terdeteksi sebelumnya.