Tiga hari terakhir ini, berita duka dari Ranah Minang banyak diberitakan media massa, baik media cetak, media elektronik, dan terutama melalui media sosial.
Berita duka dimaksud yang videonya tersebar dengan cepat adalah musibah erupsi Gunung Marapi di Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat, pada Minggu sore (3/12/2023).
Ironisnya, erupsi dikabarkan terjadi secara tiba-tiba. Tak heran, saat kabut asap membumbung tinggi memuntahkan batu-batu besar, masih banyak para pendaki gunung di sana.
Maka, korban jiwa pun berjatuhan dan sepertinya sulit dihindarkan. Gunung Marapi memang gunung favorit bagi mereka yang hobi mendaki gunung.
Soalnya, lokasi tempat memulai pendakian gampang diakses. Gunung ini terihat sangat indah di sebelah kanan jalan raya antar kota Padangpanjang menuju Bukittinggi.
Pada hari yang naas itu, menurut petugas di pos penjagaan sebelum pendakian, tercatat ada 75 pendaki yang sudah naik dan terjebak dalam area erupsi.
Namun, diperkirakan ada juga pendaki yang mengetahui jalan tikus dan melakukan pendakian tanpa melapor terlebih dahulu.
Dari 75 orang di atas, menurut berita Metro TV (6/12/2023 siang), ditemukan 23 orang yang meninggal dunia. 22 di antara korban tewas itu sudah teridentifikasi.
Selain itu, dilaporkan ada sebanyak 18 orang pendaki yang masih dicari oleh Tim SAR. Proses pencarian dan evakuasi terhambat karena ada erupsi susulan.
Hampir semua korban, baik yang meninggal  maupun yang dirawat di rumah sakit mengalami luka bakar di bagian tubuhnya.
Jumlah korban demikian besar, menimbulkan pertanyaan tentang sistem operasional dan prosedur (SOP) untuk panduan bagi pendaki gunung Marapi selama ini.
Apakah petugas di pos jaga sudah dibekali dengan SOP yang telah disesuaikan dengan kondisi terkini?
Jika SOP-nya belum diperbarui, seharusnya diperbarui terlebih dahulu. Setelah itu, perlu pula disosialisasikan kepada para petugas agar mereka memahami.
Kemudian, instansi yang berwenang untuk mengawasi, perlu pula melakukan pengawasan secara mendadak untuk memastikan bahwa SOP itu telah berjalan dengan baik.
Dengan jatuhnya banyak korban, diperkirakan SOP-nya masih mengandung sejumlah kelemahan, terutama dalam memitigasi bencana terhadap pendaki gunung.Â
Artinya, tindakan yang bersifat preventif kurang berjalan. Ke depan, hal ini harus dibenahi, jika pendakian Gunung Marapi telah diperkenankan lagi.
Sejauh ini, para pejabat di Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menyatakan bahwa erupsi Marapi terjadi tiba-tiba dan sulit diprediksi.
Maka, kepada pendaki diminta untuk tidak memasuki area radius 3 kilometer dari puncak, karena dari erupsi-erupsi sebelumnya, dampaknya sejauh 3 kilometer tersebut.
Namun, diduga sangat sulit mengawasi pendaki apakah sudah memasuki area 3 kilometer itu atau belum. Apalagi, tujuan pendaki memang untuk mencapai puncak gunung.
Peralatan dan kemampuan petugas dari instansi yang berwenang untuk selalu memantau kondisi Gunung Marapi perlu dievaluasi segera.
Secara logika, erupsi tak ada yang terjadi tiba-tiba. Tapi, dengan keterbatasan fasilitas dan keahlian yang ada, musibah kemarin terkesan tiba-tiba karena tidak terdeteksi sebelumnya.
Semoga musibah tersebut menjadi pelajaran berharga, agar di masa mendatang mitigasi bencana terhadap para pendaki gunung bisa dilakukan dengan baik.
Mengingat gunung berapi di negara kita cukup banyak, mitigasi bencana tersebut diharapkan juga berlaku di semua area pendakian gunung berapi lainnya di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H