Akibatnya, budaya membeli makanan jadi makin banyak penganutnya. Apalagi, sekarang makanan bisa dipesan secara online dan tinggal duduk manis menunggu makanan datang.
Perkembangan zaman memang tak bisa dilawan. Gadis-gadis Minang tidak lagi wajib belajar memasak agar mendapat jodoh, dan orang tua mereka juga terkesan lalai untuk mengajarkan.
Perempuan Minang lebih mementingkan menamatkan kuliah, mencari pekerjaan, baru kemudian memikirkan soal jodoh di usia yang telah melewati 25 tahun, bahkan melewati 30 tahun.
Lalu, soal makanan yang digemari orang Minang juga mengikuti selera masyarakat di kota-kota besar di luar Sumbar.
Dulu, ada anggapan Orang Minang kalau meembeli makanan di manapun juga, termasuk orang-orang Minang di perantauan, selalu mencari Rumah Makan Padang.
Namun, anak-anak muda di Ranah Minang sendiri, termasuk yang belum pernah menginjak tanah perantauan, justru punya selera yang bervariasi.
Mereka tidak hanya menyukai makanan asli Minang, tapi juga bisa menikmati dengan lahap pecel lele, ayam penyet, pizza, fried chicken ala Amerika, Soto Banjar, Nasi Uduk, dan sebagainya.
Semua itu didukung dengan begitu banyaknya restoran dan rumah makan non-Minang di berbagai kota di Sumbar.
Hingga sekitar dekade 1990-an, beberapa restoran non-Minang yang mencoba peruntungannya di Sumbar, biasanya tak lama sudah tutup lagi karena sepi pembeli.
Tapi, dalam 10 tahun terakhir ini, perkembangan usaha kuliner non-Minang di Sumbar berkembang sangat pesat.
Mungkin karena didorong oleh media sosial, di mana pengetahuan tentang jenis makanan yang lagi hits, baik makanan asing maupun lokal non-Minang, telah mempengaruhi selera makan masyarakat.