Sebetulnya, saya pernah belajar stenografi (sistem menulis cepat yang di era jadul banyak digunakan para wartawan), tapi karena jarang dipraktikkan, akhirnya ilmu itu terbuang sia-sia.
Meminjam catatan teman yang rajin mencatat, lalu memfotokopi, hasilnya tak sebagus mencatat sendiri, karena suasana kejiwaan dosen saat menjelaskan tak tertangkap.
Hal itu terbukti dari nilai ujian saya yang lebih baik dari yang diperoleh teman-teman yang meminjam catatan saya.
Perlu saya tambahkan, saat saya kuliah, soal ujian berbentuk esai. Artinya, kemampuan mahasiswa menuliskan jawaban secara lengkap dan sistematis, sangat dibutuhkan.
Penilaian ujian berpola esay sedikit banyak berbau subjektivitas dari dosen. Selera dosen bisa diketahui dari kalimat yang meluncur dari mulutnya. Makanya, bagi saya catatan kuliah itu penting.
Banyak juga mahasiswa yang rajin membaca buku teks, tapi agak malas mencatat. Yang tipe begini, saat ujian akan menjawab seperti bahasa di buku teks.
Mahasiswa tersebut tetap lulus, tapi nilainya tak sebagus mahasiswa yang menjawab dengan gaya kalimat sesuai selera dosen.
Hanya pertanyaan berupa "definisi" yang jawabannya harus persis buku teks. Untuk pertanyaan "apa pendapat saudara", sebaiknya bergaya yang dimaui dosen.
Bukannya membaca buku teks tidak penting. Tapi, berdasarkan pengalaman saya, buku teks perlu dilengkapi dengan kembangannya, yang didapat dari menyimak kata dosen dan mencatat sendiri.
Apakah cara saya yang konvensional itu masih layak digunakan di era teknologi canggih sekarang ini? Menurut saya masih layak, karena mencatat sendiri itu membantu agar "nancep" di kepala.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H