Padahal, Yuni mengaku pernah mengirim barang yang sama ke Jakarta, tarif bea masuk dan pajaknya hanya Rp 40.000.Â
Tentu saja Yuni merasa sedih dan ingin bertanya kepada pihak Bea Cukai bagaimana cara mereka menghitung. Jika tarifnya Rp 800.000, silakan saja pemerintah mengambil barangnya.
Maksudnya, karena tak mampu menebus, ya sudahlah, celana dalamnya disita saja oleh pemerintah.
Keluhan Yuni merembet ke soal lain, yakni mempersoalkan bagaimana sesungguhnya perlindungan terhadap TKW yang diberikan pemerintah.
Viralnya keluhan Yuni tersebut akhirnya mendapat tanggapan dari Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo.
Menurut Yustinus, kasus di atas telah diselesaikan dengan baik, setelah pihak Bea Cukai Juanda dan PT Pos Indonesia berkomunikasi dengan Yuni dan dengan penerima barang.
Usut punya usut, tingginya tarif bea masuk dan pajak tersebut karena terjadi kekeliruan dalam input data pabean.
Dalam dokumen pengiriman barang, harga tertulis dalam satuan $ (lambang untuk dollar) tanpa penjelasan dolar Amerika Serikat (AS) atau dolar Hong Kong.
Oleh petugas penghitung, dokumen tersebut di-input sebagai dolar AS, padahal seharusnya sebagai dolar Hong Kong.
Kepada masyarakat yang mengalami hal yang sama, Yustinus berpesan bahwa masyarakat bisa mengajukan keberatan ke Kanwil Bea Cukai setempat.
Kemudian, kalau menyimak dokumen pendukug pengiriman barang di atas, seharusnya ada keterangan yang lengkap tentang mata uang yang dipakai.