Soto Padang terenak di Jakarta, menurut saya adalah yang terletak di Jalan Pintu Air di Jakarta Pusat, tak terlalu jauh dari Masjid Istiqlal, juga dekat dari Pasar Baru.
Saya sengaja tidak menuliskan nama restoran Soto Padang dimaksud, karena tulisan ini bukan mempromosikannya, hanya sekadar berbagi pengalaman saja.
Tentu, penilaian saya belum tentu akurat, karena banyak sekali restoran atau rumah makan yang menyediakan Soto Padang di Jakarta, yang belum saya coba.
Karena lidah saya terlanjur memberi penilaian tinggi untuk soto yang saya tulis di atas, hal ini menjadi standar bagi saya dalam menilai rasa soto Padang lainnya.
Rasanya yang otentik dan garingnya dendeng daging sapi yang diiris kecil kecil yang ditaburi dalam semangkok soto, membuat saya tak ragu menyebutnya sebagai soto Padang terenak.
Hanya saja, soto Padang di kawasan Pasar Baru itu mematok harga terlalu mahal. Betul, enak itu identik dengan mahal. Â Apalagi, restorannya representatif, bukan kelas kaki lima.
Tapi, harganya jangan sampai 2 kali lipat harga rata-rata soto Padang lainnya, seperti yang diterapkan di  soto Padang tersebut.
Nah, ceritanya, baru-baru ini saya kedatangan tamu, sepupu saya dari Batam yang sedang jalan-jalan di ibu kota.
Karena saya sudah cukup lama tidak mencicipi soto Padang yang di Pasar Baru itu, saya ajaklah sepupu saya ke sana. Istri dan salah satu anak saya juga ikut.
Dulu, saking enaknya soto tersebut, saya bisa meminta tambah dengan porsi setengah. Maksudnya menambah soto, tapi tidak menambah nasi.
Namun, kali ini saya tidak tergiur untuk meminta tambah. Anak saya yang "tukang makan" pun tidak mau minta tambah.
Bagi saya, soto tersebut masih enak, masih layak direkomendasikan, asal jangan kaget dengan mahal harganya.
Tapi, hati kecil saya berkata, telah terjadi degradasi rasa, ada sedikit penurunan derajat kelezatannya dibanding belasan tahun lalu.
Setelah saya mencari informasi dari berita daring, saya mengetahui bahwa soto Padang legendaris itu sudah berdiri sejak tahun 1966.Â
Tentu sekarang yang mengelola sudah generasi kedua, karena diperkirakan pendirinya sudah meninggal dunia atau sudah tidak kuat secara fisik untuk bekerja.
Pertanyaan saya, kenapa kesuksesan usaha kuliner yang dibangun generasi pertama, sulit dipertahankan generasi kedua, terutama dalam hal konsistensi rasa?
Soalnya, hal ini menurut saya juga terjadi pada Gado-Gado "B" yang berpuat di Menteng dan dulu sangat terkenal. Atau Bakmi "K" di kawasan Cikini, Jakarta Pusat.
Belum lagi kalau saya bahas usaha kuliner di Payakumbuh dan Bukittinggi (keduanya di Sumbar). Inilah kota masa kecil saya yang tersimpan memori beberapa usaha kiliner yang dulu enak banget.
Sekarang, kalau saya pulang kampung dan menyambangi usaha kuliner yang ternyata masih eksis tersebut, telah terjadi degradasi rasa.
Dugaan saya, generasi kedua sudah hidup mapan, tidak berjuang dari bawah, sehingga proses memasaknya mungkin tidak dijiwai dengan penuh rasa cinta.Â
Betulkah demikian? Saya tidak berani menyimpulkannya, makanya saya tulis sebagai dugaan semata.
Saya meyakini, kalau soal bumbu atau resep masakan, tak ada yang diubah oleh genersi kedua, pasti sama dengan yang dilakukan generasi pertama.
Tapi, memasak dengan penuh rasa cinta dan kurang rasa cinta itu, menurut saya akan berbeda hasilnya, meskipun resep masakannya sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H