Namun, kali ini saya tidak tergiur untuk meminta tambah. Anak saya yang "tukang makan" pun tidak mau minta tambah.
Bagi saya, soto tersebut masih enak, masih layak direkomendasikan, asal jangan kaget dengan mahal harganya.
Tapi, hati kecil saya berkata, telah terjadi degradasi rasa, ada sedikit penurunan derajat kelezatannya dibanding belasan tahun lalu.
Setelah saya mencari informasi dari berita daring, saya mengetahui bahwa soto Padang legendaris itu sudah berdiri sejak tahun 1966.Â
Tentu sekarang yang mengelola sudah generasi kedua, karena diperkirakan pendirinya sudah meninggal dunia atau sudah tidak kuat secara fisik untuk bekerja.
Pertanyaan saya, kenapa kesuksesan usaha kuliner yang dibangun generasi pertama, sulit dipertahankan generasi kedua, terutama dalam hal konsistensi rasa?
Soalnya, hal ini menurut saya juga terjadi pada Gado-Gado "B" yang berpuat di Menteng dan dulu sangat terkenal. Atau Bakmi "K" di kawasan Cikini, Jakarta Pusat.
Belum lagi kalau saya bahas usaha kuliner di Payakumbuh dan Bukittinggi (keduanya di Sumbar). Inilah kota masa kecil saya yang tersimpan memori beberapa usaha kiliner yang dulu enak banget.
Sekarang, kalau saya pulang kampung dan menyambangi usaha kuliner yang ternyata masih eksis tersebut, telah terjadi degradasi rasa.
Dugaan saya, generasi kedua sudah hidup mapan, tidak berjuang dari bawah, sehingga proses memasaknya mungkin tidak dijiwai dengan penuh rasa cinta.Â
Betulkah demikian? Saya tidak berani menyimpulkannya, makanya saya tulis sebagai dugaan semata.