Pantas saja saya tidak melihat keberadaan si pedagang tersebut, karena saya sering melewati tempat dia mangkal setelah pukul 09.00.
Akhirnya, pada suatu pagi, masih sekitar pukul 07.45, saya pun sengaja menyambangi si pedagang nasi uduk itu untuk memuaskan rasa penasaran saya.
Benar juga, ketika saya datang, saya melihat sebuah gerobak dorong yang sudah dirancang sedemikian rupa menjadi kios nasi uduk, di depan sebuah kantor bank.
Alamaak, antreannya yang panjang dan tidak beraturan, ketika itu ada sekitar 10 orang yang bergerombol, membuat saya nyaris mengurungkan niat untuk membeli nasi uduk.
Tapi, tak ada salahnya saya mencoba ikut antre. Meskipun bergerombol, rupanya ada semacam etika sesama pengantre. Mereka saling tahu siapa di urutan berikutnya.
Saya pun menghafalkan bahwa saya datang persis setelah seorang ibu yang berjilbab kuning. Artinya, bila ibu itu dilayani, setelah itu saya yang akan kebagian.
Cukup pegal juga kaki saya ketika giliran saya yang dilayani si pedagang nasi uduk. Saya lihat layar ponsel saya yang menunjukkan pukul 08.05. Artinya, saya 20 menit menunggu.
Komposisi lauk yang saya pilih adalah telur bulat balado, oseng-oseng tempe, sayur oseng buncis dan sebiji bakwan. Harganya Rp 15.000, relatif murah menurut saya.
Sambil meyiapkan pesanan saya, si pedagang saya ajak mengobrol. Saya bertanya, kenapa dia tidak membawa dagangan yang banyak, agar bisa melayani pelanggan yang datang setelah pukul 9 pagi.
Si pedagang menjawab bahwa dia setiap hari sengaja membatasi untuk sekian porsi saja. Jika yang sekian porsi itu habis, dia memilih istirahat di rumahnya.
Saya menyadari, tentu si pedagang sudah sibuk sejak dini hari, mungkin sejak pukul 03.00. Sehingga, bila dia memilih segera istirahat setelah pukul 09.00, sesuatu yang sangat wajar.