Sayangnya, gerai kopi di atas jelas-jelas pangsa pasarnya menyasar masyarakat kelas menengah ke atas, karena memasang harga yang mahal.
Betapa tidak, untuk secangkir kopi yang termurah pun, harganya lebih mahal dari makan nasi Padang dengan lauk rendang plus sayur nangka.
Apalagi bila dibandingkan dengan makan di warung Tegal (Warteg), secangkir kopi Starbucks bisa untuk 3 kali makan di warteg.
Keberhasilan Starbucks yang berasal dari Amerika Serikat tersebut mendunia, secara langsung atau tidak langsung, telah mengubah budaya minum kopi.
Di Indonesia, minum kopi sebetulnya sudah jadi budaya banyak orang sejak zaman dahulu kala. Tapi, minum kopi tubruk ala orang kampung jelas bukan sesuatu yang bergengsi.
Nah, di berbagai kota, bermunculan kedai kopi bergaya modern ala Starbucks. Ada juga brand lokal yang berkembang pesat dengan sistem waralaba, seperti brand Kopi Kenangan.
Namun, bagi masyarakat kelas bawah, Kopi Kenangan pun sudah tergolong mahal, meskipun harganya di bawah Starbucks.
Lalu, apakah ada kopi yang ramah dengan kantong warga kebanyakan yang tinggal di kota, yang tak mau minum kopi tubruk ala orang desa?Â
Untuk menjawab pertanyaan ini, akhirnya sejak beberapa tahun terakhir bermunculanlah usaha Starling (Starbucks keliling) yang menjajakan kopi secara berkeliling naik sepeda atu motor.
Tentu saja, sebutan Starling bukan berarti menjadi semacam perluasan usaha brand Starbucks, karena antara keduanya tak ada hubungan apa-apa.Â
Istilah starling sendiri hanya sekadar plesetan saja, biar manis dilafalkan dan enak didengar, daripada dinamakan sebagai kopi keliling.
Uniknya, pedagang starling banyak yang tidak tahu kalau pelanggannya menamakannya sebagai pedagang starling.Â
Di Jakarta dan kota-kota sekitarnya, tak terhitung lagi pelaku usaha starling. Di mana ada orang ramai, si pedagang akan mangkal sejenak.
Demikian pula di berbagai proyek pembangunan. Biasanya saat beristirahat sejenak, para buruh proyek akan ramai-ramai minum kopi starling.
Usaha Starling kelihatannya gampang, hanya sekadar berkeliling. Begitu ada pelanggan, tinggal menyeduh kopi sasetan saja.
Tapi, kalau diamati dengan cermat tidaklah segampang itu. Mengayuh sepeda berkeliling kota dengan beban berat, jelas butuh kekuatan fisik.
Ada juga pedagang starling yang bisa menghemat tenaga dengan memberikan nomor ponselnya kepada para pelanggan.
Jadi, begitu ada yang memesan, baru si pedagang bergerak ke tempat pelanggan. Bukan hanya orang lewat, karyawan mal pun tak sedikit yang jadi pelanggan starling.
Bukankah tak semua karyawan mal bergaji besar? Tak semuanya mampu minum kopi Starbucks, meskipun ada gerai Starbucks di mal tempat mereka bekerja.
Rata-rata, harga kopi starling Rp 5.000 per gelas. Jika pelanggan minta kopi susu, tentu harganya lebih mahal, bisa mencapai Rp 10.000.
Dari pengalaman beberapa pedagang starling, keuntungan setiap harinya berkisar antara Rp 400.000 hingga Rp 700.000.
Bahkan, jika lagi ramai sekali, pernah juga pedagang starling yang meraup cuan Rp 1 juta dalam sehari. Menggiurkan, bukan?
Nah, bagi yang tertarik menjadi pedagang starling, cukup bermodalkan satu jutaan rupiah, sudah bisa beroperasi, dengan catatan sudah punya sepeda atau motor.
Modal Rp 1 jutaan itu dibelikan untuk gerobak yang akan dipasang di bagian belakang sepeda atau motor dan peralatan lain yang diperlukan.
Gerobak kopi itu harus kokoh karena akan memuat termos air panas, termos es, air mineral dalam galon, dan tumpukan gelas plastik dan sedotan sekali pakai.
Berikutnya, tinggal membeli kopi saset berbagai merek dan berbagai rasa yang banyak dijual di supermarket.Â
Setelah itu, silakan berkeliling mencari pelanggan, tapi tolong diingat-ingat untuk selalu menjaga kebersihan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H