Terlebih dahulu saya perlu mohon maaf kepada warga Citayam, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, karena saya jadikan contoh di tulisan ini.
Begini, ketika saya menjadi warga ibu kota Jakarta pada tahun 1986, rasanya kalau ada yang menyebut tinggal di Citayam, yang saya bayangkan adalah orang desa atau orang kampung.
Saat itu, mereka yang ingin memiliki rumah sendiri dan bekerja sebagai pegawai negeri atau swasta di Jakarta, banyak yang memilih tinggal di Depok.
Tentu, hal itu karena harga rumah di Jakarta terbilang mahal dan banyak pengembang yang membangun rumah di Depok dengan cicilan yang terjangkau oleh para pegawai.
Nah, Citayam waktu itu citranya di mata warga Jakarta suatu tempat yang jauh dan warganya dianggap sebagai orang kampung.
Namun, ketika kemudian Depok pun sudah terlalu padat dengan harga rumah yang mulai mahal, banyak sekali pegawai di Jakarta yang memilih membeli rumah di Citayam.
Begitulah, kalau sekarang masih ada orang yang mengatakan Citayam itu ndeso, jelas keliru. Citayam adalah desa yang mengkota.
Anak mudanya pun kreatif, maka Citayam Fashion Week pun jadi terkenal, meskipun panggungnya bukan di Citayam, melainkan di dekat Stasiun Dukuh Atas, Jakarta Pusat.
Dari Citayam, saya ingin mengalihkan contoh ke kampung saya di Payakumbuh, Sumatera Barat. Kota ini terletak 125 kilometer di sebelah utara Padang.
Waktu saya masih duduk di bangku SD di awal dekade 1970-an, yang menurut saya memenuhi ciri-ciri sebuah kota, hanya hingga radius 1 kilometer dari pusat kota saja.
Di luar area itu, sangat berciri desa karena sedikitnya bangunan dan lebih banyak sawah, kebun, dan kolam ikan tradisional (empang).
Sekarang, hingga radius 7 kilometer dari pusat kota sudah penuh dengan bangunan, baik kantor, rumah, toko, kafe, dan sebagainya.
Jalan yang dulu kebanyakan masih tanah dan tanpa nama jalan, sekarang semuanya diaspal dan ada papan nama jalan yang dipasang di pangkal dan ujung jalan.
Kalau saya pulang ke Payakumbuh, saya tinggal di rumah kakak saya di Kelurahan Tanjung Gadang, sekitar 3 kilometer dari pusat kota.
Rumah kakak saya itu relatif tidak jauh dari SD saya dulu. Tapi, tentu saja suasana dulu dan sekarang sudah berbeda jauh sekali.
Saya mencoba melacak teman-teman SD saya yang merupakan warga asli Tanjung Gadang, ternyata hanya 1 orang yang berhasil saya temui.
Dari satu orang itulah saya dapat cerita bahwa penduduk asli Tanjung Gadang sekarang jadi minoritas dan seakan tersisihkan di lingkungannya sendiri.
Kakak saya pun dianggap sebagai pendatang, karena orang tua kami dulunya tinggal di Kelurahan Padang Tangah, 1 kilometer dari pusat kota.
Ya, itulah salah satu konsekuensi desa yang mengkota, yakni orang asli makin terdesak, atau makin tersingkir lebih jauh lagi.
Namun demikian, tentu juga ada warga desa yang merantau dan menjadi orang kota, dan hanya sesekali saja pulang ke kampungnya.
Saya tidak begitu tahu pasti, tapi mungkin fenomena desa yang semakin ramai oleh orang kota, dinamakan oleh para pakar sebagai gentrifikasi.
Di satu sisi, gentrifikasi membuat desa secara fisik menjadi lebih maju, bahkan sudah membaur menjadi kota.
Perekonomian desa menjadi lebih hidup, karena perputaran uang melalui banyak toko dan unit-unit ekonomi lainnya yang bermunculan.
Sayangnya, di pihak lain juga terjadi kemunduran, khususnya budaya masyarakat desa yang bernilai positif malah jadi sirna.
Yang juga saya amati, betapa budaya saling menyapa antar tetangga yang menjadi ciri khas pergaulan di desa, sudah langka terlihat.
Saling membantu dan gotong royong, seperti saat ada salah satu warga yang menikah atau ada yang kematian anggota keluarga, juga mulai ditinggalkan.
Proses desa yang mengkota tampaknya tak bisa dihindarkan seiring dengan laju pembangunan yang makin kencang di berbagai penjuru tanah air.
Kecenderungannya, karena orang kota dianggap hebat dan lebih maju, maka budaya dan tingkah lakunya ditiru orang desa.
Namun, idealnya yang diserap hanyalah budaya yang positif orang kota saja, seperti mengutamakan kepentingan pendidikan anak-anak.
Sedangkan budaya yang negatifnya jangan ditiru, seperti gaya hidup individualisme yang terkenal dengan prinsip: "lu-lu, gua-gua".
Selain itu, budaya positif yang sudah berurat berakar di desa harus terus dipelihara, kalau bisa bahkan ditularkan kepada orang kota.
Lalu, sekiranya ada budaya yang bersifat negatif di desa, seperti etos kerja yang cenderung santai, sebaiknya bisa diganti dengan budaya bekerja keras.
Ringkasnya, dituntut kesiapan dan ketahanan warga desa dalam menerima "gempuran" orang kota, meskipun orang desa juga banyak yang menyerbu kota dalam rangka mencari nafkah.
Semoga gentrifikasi yang terjadi di banyak tempat di negara kita, bisa memaksimalkan penerapan budaya positif dan sekaligus meminimalkan budaya negatif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H