Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Layar Kaca Dibiarkan Bersemut Gara-gara Analog Switch Off

14 September 2023   05:22 Diperbarui: 14 September 2023   05:25 791
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi layar kaca yang "bersemut"|dok. Kompas.com/Lely Maulida

Ketika Timnas Senior Indonesia bertanding melawan Turkmenistan di Gelora Bung Tomo Surabaya, Jumat malam (8/9/2023), saya nyaris tidak bisa menonton siaran langsung dari layar kaca.

Ketika itu kebetulan saya lagi berada di rumah saudara saya di Pekanbaru, Riau. Ada tiga televisi di rumahnya, namun ketiga-tiganya "bersemut".

Saya menyebutnya bersemut karena tidak mampu menangkap siaran dari stasiun televisi manapun, termasuk siaran dari stasiun televisi lokal.

Rupanya, di Riau beberapa hari sebelumnya telah dilakukan penutupan siaran televisi secara analog. Hal ini dalam rangka migrasi analog ke digital.

Saya bertanya kepada saudara saya, kenapa ia tak membeli set top box (STB) agar televisi di rumahnya bisa menangkap siaran digital.

Bahkan, tidak sekadar bisa menangkap siaran. Mutu siarannya pun lebih baik, dalam arti gambarnya lebih tajam dan jernih.

Harga STB di pasaran sekitar Rp 150.000 hingga Rp 200.000. Harga tersebut relatif terjangkau, apalagi bagi saudara saya yang menurut saya penghasilannya tergolong memadai.

Saudara saya sebetulnya sudah tahu tentang perlunya STB agar bisa tetap menikmati siaran televisi.

Keberatan saudara saya tentang STB, seperti saya duga, sama sekali bukan soal harganya, hanya karena malas membeli saja.

Kenapa ia malas? Karena ia dan anak-anaknya yang semuanya sudah dewasa (anak terkecil sudah kelas 3 SMA) tidak lagi membutuhkan siaran televisi.

Mereka lebih tertarik menonton "televisi" dari aplikasi media sosial tertentu melalui telpon genggam atau melalui layar laptop masing-masing.

Sepanjang ada koneksi internet, baik dengan berlangganan wifi atau membeli paket internet, mereka sudah bisa menikmati informasi atau hiburan yang mereka sukai.

Lalu, berkat bujukan saya bahwa televisi itu masih ada pentingnya, atau mungkin karena kasihan saya tak bisa menonton timnas main, ia pun membeli STB.

Maka, 2 jam sebelum acara siaran langsung pertandingan sepak bola, salah satu televisi di rumah saudara saya sudah tak bersemut lagi.

Alhamdulillah, saya bisa menonton aksi timnas Indonesia yang berhasil membungkam Turkmenistan dengan skor 2-0. 

Memang, tanpa televisi pun, saya punya alternatif lain dengan menonton dari saluran live streaming, namun bagi saya lebih nyaman menonton dari layar kaca.

Dugaan saya, sejak pemerintah melakukan analog switch off, jumlah pemirsa televisi di negara kita mengalami penurunan yang tajam.

Mereka enggan membeli STB sebagai alat yang diperlukan untuk mengkonversi dari siaran analog ke siaran digital.

Toh percuma saja membeli STB, jika mereka sendiri semakin jarang menonton televisi. Jadi, program pemerintah itu justru semakin menegaskan perpisahan mereka dengan media televisi.

Ada pula yang merasa masih membutuhkan media televisi, tapi dengan cara berlangganan televisi kabel. Cara ini membuat mereka merasa tak perlu ikut-ikutan membeli STB.

Apakah program pemerintah yang menghentikan siaran televisi analog bisa disebut kurang efektif? Masih terlalu dini untuk bisa disimpulkan.

Yang jelas, sosialisasi oleh pemerintah dan semua stasiun televisi telah gencar sejak jauh-jauh hari, mungkin sejak sekitar 2 tahun yang lalu.

Bahkan, program migrasi tersebut telah tertunda beberapa kali, sebelum akhirnya secara bertahap betul-betul dilakukan di provinsi tertentu.

Pantaslah, kabarnya ada stasiun televisi besar yang sebelumnya enggan bermigrasi, karena takut rating berbagai acaranya rendah akibat jumlah pemirsa yang menurun.

Bila rating rendah, buntutnya pendapatan dari iklan akan turun. Toh, migrasi menjadi pilihan terbaik, agar frekuensi yang lama bisa dimanfaatkan untuk kelancaran jaringan internet.

Kreativitas pengelola stasiun televisi sangat diharapkan, agar media televisi tidak bangkrut seperti dialami banyak media cetak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun