Orang yang memanfaatkan salah satu ruangan di bagian depan rumahnya untuk berdagang, merupakan hal yang lazim kita temui di banyak tempat.
Warga kelas menengah ke bawah yang kekurangan modal memang cenderung mencari penghasilan dengan memanfaatkan apa yang ada.Â
Maksudnya, tak punya uang untuk menyewa kios bukan berarti tak bisa berusaha. Pojok depan rumah pun bisa disulap jadi kios untuk berjualan.
Berdagang makanan, kue, minuman, rokok, peralatan mandi, dan berbagai kebutuhan harian, bisa dilakukan dari rumah, terutama di kawasan yang padat penduduk.
Biasanya, jika seorang bapak yang jadi kepala rumah tangga punya pekerjaan tetap, maka ibunya yang kebetulan jadi ibu rumah tangga yang berdagang di rumah.
Namun, bisa pula justru si kepala rumah tangga yang gara-gara kena PHK, menjadi "pemain utama" sebagai pedagang rumahan.
Banyak yang berhasil dengan memulai usaha dari rumah, sehingga berkembang menjadi pengusaha yang punya beberapa cabang.
Hanya saja, harus diakui tak sedikit yang gagal secara terus menerus. Coba ikuti kisah seorang ibu muda bernama Riri berikut ini.
Riri sudah beberapa kali mengganti barang yang dijualnya. Pernah berjualan makanan dan pernah juga menjual barang harian.
Untuk makanan, Riri pernah menjual aneka gorengan, tapi kemudian beralih menjual empek-empek, sebelum beralih lagi menjual soto.
Anehnya, meskipun barang atau makanannya habis terjual, tapi uangnya tak berbekas, alias tekor. Nah, ke mana pergi uangnya, itulah yang kurang dicermati Riri.
Ketika uangnya habis, Riri biasanya minta tolong ke saudaranya untuk dimintai bantuan modal. Lalu, ia akan mengubah objek usahanya, tergantung seleranya saja.
Kata Riri, ia menyadari ternyata ia tak punya bakat dagang. Padahal, ini bukan soal bakat atau tidak. Melainkan hanya soal disiplin dalam mengelola uang.
Ia mencampuradukkan antara uang pribadi dengan uang usaha, sehingga akhirnya uang hasil penjualan tak bisa dipakai untuk kelangsungan usaha.
Tanpa disadari Riri, uang hasil penjualan terlalu banyak dipakai untuk kebutuhan keluarga. Makanya, jejak usaha tidak ada lagi.
Padahal, seharusnya uang hasil penjualan dibagi dua. Pertama, unsur harga pokok barang yang dijual harus disisihkan untuk membeli barang lagi.
Kedua, unsur laba atas penjualan baru bisa dipakai untuk kebutuhan keluarga. Intinya, setiap barang terjual, harus tahu berapa yang untuk menutupi harga pokok, berapa yang keuntungan.
Satu lagi yang jadi masalah, Riri tidak konsisten, sering gonta-ganti objek usaha, sehingga semua terkesan sekadar coba-coba.
Bukannya tak boleh gonta ganti, tapi jangan sering-sering. Begitu pelanggan menyukai, sebaiknya dipertahankan, atau bahkan ditingkatkan kualitasnya.
Kesimpulannya, Riri tidak serius berbisnis, makanya ia gagal. Sekali lagi, ini bukan karena ia tidak punya bakat, karena pada dasarnya semua bisa dipelajari atau dilatih, asal ada kemauan.
Perlu diketahui, sekarang pedagang rumahan tidak lagi terkungkung menerapkan pola berjualan secara tradisional yang hanya mengharapkan konsumen warga sekitar.
Bagi pedagang rumahan yang kreatif, umpamanya dengan memanfaatkan media sosial, berdagang dari rumah pun bisa meraup cuan dari pelanggan di berbagai kota.Â
Bukankah sekarang Live Shopping seperti melalui TikTok Shop lagi jadi tren, dan bahkan disinyalir telah "membunuh" pedagang konvensional?
Nah, bagi Anda yang tertarik memulai usaha, mudah-mudahan tulisan sederhana ini bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H