Sekarang ada terobosan baru di bidang pendidikan tinggi di negara kita, yang bisa dibilang sebuah transformasi yang cukup radikal, yakni kewajiban menulis skripsi dihapus.
Tapi, jangan salah paham. Dihapus maksudnya bukan ditiadakan. Demikian yang dikatakan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim.
Dalam rapat bersama Komisi X DPR di Gedung DPR Senayan, Jakarta, Rabu (30/8/2023), Nadiem menyampaikan bahwa pemerintah memindahkan hak ke setiap perguruan tinggi.
Jadi, soal apakah seorang calon sarjana wajib membuat skripsi atau tidak, diserahkan kepada  masing-masing kampus.
Bagi kampus yang tidak mewajibkan penulisan skripsi, masih ada pilihan lain seperti membuat prototipe atau membuat suatu proyek.Â
Tentu, bagi mahasiswa yang selama ini merasa menulis skripsi sebagai momok, berita di atas bisa menjadi angin segar yang bisa menyelamatkannya dari keputusasaan.Â
Memang, di setiap kampus, biasanya ada saja dosen pembimbing skripsi yang killer, yang mebuat skripsi mahasiswa yang dibimbingnya tidak kelar-kelar.
Tak sedikit mahasiswa yang akhirnya frustrasi dan memilih cabut dari kampus selamanya. Mereka jadi "sarjana minus skripsi". Gagal wisuda dan gagal membahagiakan orangtua.
Tapi, terlepas dari kebijakan baru Kemendikbudristek di atas, idealnya semua sarjana harus punya kemampuan menulis yang baik.
Bukankah nantinya para sarjana tersebut, apapun nanti bidang pekerjaannya, akan lebih banyak menggunakan "otak" ketimbang "otot"?