Tukang bisa diartikan sebagai orang yang punya kepandaian atau keterampilan dalam suatu bidang dengan menggunakan tangannya sendiri dan alat tertentu.
Tukang cukur, tukang jagal, tukang becak, tukang sepatu, tukang jahit, tukang batu, tukang kayu, adalah beberapa contoh pekerjaan tukang, yang semuanya menggunakan tangan dan alat.
Seorang dokter juga bekerja dengan tangan dan alat tertentu. Tapi, dokter juga dominan menggunakan otak untuk menganalisis penyakit pasiennya dan menuliskan resep obat.
Ada anggapan pekerjaan "otak" lebih mulia atau lebih bergengsi ketimbang pekerjaan "otot", sehingga tukang pun, sengaja atau tidak, dianggap lebih rendah kelasnya.
Namun, perlu diingat, tukang sekarang pun sudah relatif terdidik, makanya ada istilah "tukang insinyur" dalam film Si Doel Anak Sekolahan.
Kalau pun para tukang sekarang bukan seorang sarjana, rata-rata mereka tamat sekolah menengah, baik SMA atau SMK.
Hanya saja, setelah mereka mencoba mencari pekerjaan di berbagai tempat, selalu menemui kegagalan. Dugaan mereka, kegagalan itu karena mereka tak punya koneksi.
Akhirnya, pekerjaan sebagai tukang, misalnya tukang bangunan, dilakoni mereka sebagai pelarian. Kemudian, pelarian ini keterusan menjadi profesi mereka seiring dengan peningkatan keahliannya.
Maka, jangan anggap para tukang sebagai warga kelas dua. Jika pekerjaannya tidak memuaskan, tegurlah dengan nada baik-baik dengan nada bertanya: "apa tidak sebaiknya.....?"
Jangan sampai si pemberi kerja yang memanggil tukang ke rumahnya, seperti "mengajari tentara berbaris".
Maksudnya, dalam hal yang sangat teknis, tukang merasa lebih tahu berdasarkan pengalamannya ketimbang si pemberi kerja.
Celakanya, bila si pemberi kerja menegur dengan gaya seorang bos terhadap anak buah, tentu membuat si tukang merasa tidak diwongke (tidak dimanusiakan).
Nah, tukang yang bersumbu pendek (mudah tersulut emosinya) bisa saja membuat tindakan yang diluar dugaan.
Itulah yang menimpa seorang dosen UIN Raden Mas Said, Solo, Jawa Tengah, bernama Wahyu Dian Silviani. Sang dosen ditemukan tewas di sebuah rumah di Gatak, Sukoharjo, Jawa Tengah.
Kuli bangunan bernisial DF (23 tahun) yang membunuh korban telah ditangkap polisi, seperti ditulis Detik.com (27/8/2023).
DF mengaku ditegur korban soal pekerjaannya yang dinilai jelek. Korban menegur dari pagi hingga sore Senin (21/8/2023), sehingga DF sakit hati dan berencana membunuh korban.
Bagaimanapun juga, tindakan si tukang di atas tidak bisa dibenarkan. Tapi, ada hikmah yang bisa dipetik, yakni perlu berhati-hati dalam berkomunikasi dengan pekerja rumah.
Toh, bukankah kita yang dalam kondisi tertentu sangat memerlukan jasa tukang? Memang, kadang-kadang hanya soal kecil yang kita hadapi,seperti kran air bocor, talang air rusak, dan sebagainya.
Namun, soal kecil itulah yang banyak di antara kita tak bisa memperbaikinya sendiri. Tak ada jalan lain, harus mencari tukang.
Di lain pihak, tukang juga butuh pekerjaan untuk mendapatkan uang, agar dapurnya tetap berasap dan bisa memberi makan keluarganya.
Jadi, posisi pemberi kerja dan tukang relatif setara, terdapat hubungan saling membutuhkan. Jangan samakan dengan hubungan seorang bos dengan anak buah.
Bahwa ada tukang yang hasil kerjanya tidak sesuai harapan, tidak perlu kita marahi secara berlebihan. Ajak saja ngobrol secara baik-baik.
Setelah apa yang kita maui kita jelaskan dengan baik, tetap saja mutu kerjanya jelek, ya anggap saja kita lagi apes.
Sebagai hukumannya, di masa mendatang jangan lagi memakai tukang yang terbukti kerjanya tidak bagus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H