Maksudnya, dalam hal yang sangat teknis, tukang merasa lebih tahu berdasarkan pengalamannya ketimbang si pemberi kerja.
Celakanya, bila si pemberi kerja menegur dengan gaya seorang bos terhadap anak buah, tentu membuat si tukang merasa tidak diwongke (tidak dimanusiakan).
Nah, tukang yang bersumbu pendek (mudah tersulut emosinya) bisa saja membuat tindakan yang diluar dugaan.
Itulah yang menimpa seorang dosen UIN Raden Mas Said, Solo, Jawa Tengah, bernama Wahyu Dian Silviani. Sang dosen ditemukan tewas di sebuah rumah di Gatak, Sukoharjo, Jawa Tengah.
Kuli bangunan bernisial DF (23 tahun) yang membunuh korban telah ditangkap polisi, seperti ditulis Detik.com (27/8/2023).
DF mengaku ditegur korban soal pekerjaannya yang dinilai jelek. Korban menegur dari pagi hingga sore Senin (21/8/2023), sehingga DF sakit hati dan berencana membunuh korban.
Bagaimanapun juga, tindakan si tukang di atas tidak bisa dibenarkan. Tapi, ada hikmah yang bisa dipetik, yakni perlu berhati-hati dalam berkomunikasi dengan pekerja rumah.
Toh, bukankah kita yang dalam kondisi tertentu sangat memerlukan jasa tukang? Memang, kadang-kadang hanya soal kecil yang kita hadapi,seperti kran air bocor, talang air rusak, dan sebagainya.
Namun, soal kecil itulah yang banyak di antara kita tak bisa memperbaikinya sendiri. Tak ada jalan lain, harus mencari tukang.
Di lain pihak, tukang juga butuh pekerjaan untuk mendapatkan uang, agar dapurnya tetap berasap dan bisa memberi makan keluarganya.
Jadi, posisi pemberi kerja dan tukang relatif setara, terdapat hubungan saling membutuhkan. Jangan samakan dengan hubungan seorang bos dengan anak buah.